Jumat, 30 April 2010

MEMBUMIKAN BAHASA LANGIT - Refleksi Peran Da'i dalam Mengaktualisasikan Konsep Islam untuk Konservasi

Landasan Teologis

Dalam Al Qur’an tertulis kisah ketika proses penciptaan makhluk bernama manusia yang kelak menjadi khalifah di bumi. Allah SWT berujar, “aku akan menciptakan di muka bumi ini seorang khalifah (manusia).” Setelah itu maka muncul apatisme dari malaikat, yang mempertanyakan, “Apakah Engkau menciptakan makhluk yang akan melakukan kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah?” Maka Allah pun menjawab, “Sesungguhnya Aku lebih tahu apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah/2:30)

Allah menyebut manusia dengan sebutan Khalifah. Karakter khalifah itu sendiri digambarkan dalam Al Qur’an surah Shaad ayat 26, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil, dan janganlah mengikuti hawa nafsu.” Seorang khalifah yang adil dalam pandangan Allah bukanlah seorang yang mengurung diri di dalam masjid, tanpa mau melihat dan menyelesaikan persoalan masyarakat. Khalifah yang adil adalah manusia yang mau dan mampu melaksanakan amal shalih, mereka itulah akan mendapat gelar taqwa yang akan diberikan kebahagiaan di akhirat. Salah satu karakter taqwa itu dijelaskan Allah dalam Surat Al Qashshash: 83 “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.”Jadi, seseorang yang melakukan perusakan di muka bumi dalam bentuk pencurian pohon, illegal logging, perambahan hutan, pembalakan liar, dan sebagainya bukanlah termasuk kelompok orang yang bertaqwa yang akan mendapatkan surga-Nya. Secara sederhana, ini bisa menjadi landasan teologis bahwa melindungi alam dari kerusakan adalah juga tugas seorang da’i.

Peran Dai
Saat ini, konsep konservasi alam seperti sengaja dilupakan dari pandangan Islam. Para da’i sebagai penyeru dakwah juga sepertinya sering melewatkan tema-tema konservasi dalam materi-materi dakwahnya.

Sepertinya, cerita konservasi adalah cerita bumi. Banyak da’i yang sedikit melupakan materi yang satu ini. Dalam sikap praktis sehari-hari, umat Islam seolah memisahkan diri antara praktis hidup duniawi dan akhrawi. Ada pandangan dikotomi persoalan dunia akhirat (ukhrawi). Misalnya, apabila Anda ingin menjadi orang yang saleh, maka tempat Anda adalah di mesjid, yang dibicarakan cukup shalat, zakat, haji saja.

Disintegralisasi konsep konservasi alam dengan dakwah islamiyah semakin kentara ketika para aktifis lingkungan hidup dipenuhi oleh sekularis, sepi dari pribadi religius. Menjaga alam dari kerusakan telah terpinggirkan dari jalan dakwah.



Islam Rahmat bagi Alam


Islam adalah sebuah agama yang universal. Agama langit ini mengatur seluruh aspek kehidupan anak manusia di atas permukaan bumi. Tidak ada satupun aspek yang luput dari pengaturan agama ini.

Ada dua ajaran yang harus diperhatikan oleh umat Islam. Dua ajaran tersebut menjadi dua kutub dimana manusia hidup. Yang pertama adalah rabbul ‘alamin. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi semesta alam. Bukan hanya Tuhannya umat manusia saja, tapi juga Tuhan bagi binatang, tumbuhan, air, udara, tanah, bumi, dan seluruh makhluk ciptaanNya di semesta raya ini.
Dari ajaran ini, Islam mengajarkan manusia untuk tidak picik memandang alam. Allah SWT yang kita sembah adalah juga Tuhan bagi alam ini. Allah SWT juga melayani alam ini, seperti Allah SWT melayani kita para manusia. Inilah dasar pertama.

Ajaran kedua adalah rahmatan lil ‘alamin. Artinya manusia diberikan amanat untuk mewujudkan seluruh prilakunya dalam rangka kasih sayang terhadap seluruh alam. Jadi tidak berkasih sayang semata kepada sesama manusia, tapi juga berkasih sayang kepada seluruh alam.

Allah SWT mengingatkan kepada manusia untuk tidak merusak alam, “Jangan merusak alam ini, merusak bumi ini sesudah ditata sedemikian baik.” (QS. Al A’raf/7:56)

Kalau saat ini orang berbicara konservasi sebagai sebuah konsep keseimbangan bagi alam yang berkelanjutan, maka Islam sudah mengenalkan konsep tersebut lebih dari 14 abad yang lampau.

Bahkan rasulullah pernah mengeluarkan titahnya yang sangat ekstrem tentang keberlangsungan ekosistem alam dalam hadits riwayat Imam Ahmad yang berbunyi,
“Apabila kiamat tiba terhadap salah seorang di antara kamu, dan di tangannya ada benih tumbuhan, maka tanamlah.”


Praktik Konservasi dalam Islam

Islam telah mempraktekkan konsep konservasi sejak kepemimpinan Rasulullah dan terus dikembangkan oleh para shahabat. Islam mengenal beberapa konsep konservasi, antara lain:

Hima - kawasan yang dilindungi untuk kemaslahatan umum dan pengawetan habitat alami. Termasuk di dalamnya adalah al-Haramaan, yakni daerah sekitar Mekah dan Madinah yang merupakan kawasan cagar yang terlarang untuk menebang pohon/tumbuhan serta berburu binatang. Praktik konservasi hima di Semenanjung Arabia telah pula diakui FAO sebagai pengelolaan kawasan lindung tertua dan yang masih bertahan di dunia hingga saat ini.

Al-Harim - zona larangan lindung. Konsep ini sering dipraktikkan pada daerah tangkapan air seperti mata air, sungai, dan danau. Adanya larangan penebangan pohon di sekitar sumber air menjadikan keberadaan air sebagai faktor penting keberadaan makhluk hidup di dunia menjadi terjaga.

Ihya al-mawaat - menghidupkan lahan yang terlantar dengan cara reklamasi atau memfungsikan kawasan tersebut agar menjadi produktif. Dengan demikian, para petani tidak perlu melakukan ekspansi lahan, cukup intensifikasi lahan pertanian yang ada, sehingga praktik ladang berpindah yang berpotensi merusak keberadaan hutan menjadi terancam.

Amanat Agung bagi Da’i


Jadi ada amanat penting bagi manusia khususnya para da’i yang Allah swt berikan akal dan ilmu pengetahun. Jangan rusak bumi, namun pelihara, jaga dan perbaikilah bumi, rumah bagi manusia dan makhluk lainnya yang Allah swt ciptakan di bumi.

Kita juga memahami  bahwa setiap amanat semestinya harus dijaga. Setiap titipan tentunya harus disampaikan. Akan tetapi manusia telah merusak dirinya dengan kemaksiatan setelah Allah menancapkan tonggak syariat melalui panji panji rasulnya. Manusia merusak bumi dan segala isinya setelah sekian banyak nikmat telah Allah berikan kepada mereka. Kerusakan moralitas agama menjadi awal mula sebelum kemudian ambisi duniawi menjadi penentu rusaknya tatanan lingkungan di atas muka bumi ini.

Selamat Hari Bumi, semoga tulisan ini menjadi refleksi pentingnya da’i berperan lebih dalam menjaga kelangsungan dan keseimbangan alam sebagai sebuah amanat Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Semoga.

3 komentar:

  1. Merendahlah bagai Bumi, agar kita bisa merasakan apa yang diderita oleh bumi, sehingga kita bisa menghargai pengorbanan Bumi, Bumi dan Manusia itu sama sama Makhluk Ciptaan Allah. Hargai pengorbanannya dan raskan apa yang dirasakannya. Kau gali dia (Bumi) untuk bikin septictank, kau gali dia (Bumi) untuk bikin sumur, kau potong, kau bakar bulu bulu (hutan) dia (Bumi), kau lindas dia (Bumi) dengan mobilmu, kau paku dia (Bumi) dengan tiang pancang untuk bangun gedung pencakar langit, kau ambil sari sari (tambang) dia (Bumi), semua dia lakukan dengan penuh Ikhlas. Dan saat kau MATI-pun dia (Bumi) masih mau menampung kamu didalam perutnya. Coba kau rasakan perasaannya, agar kau bisa menghargai alam ini. Bumi juga ingin teduh, dingin, rindang, hutan yang lebat, air bersih yang mengalir seperti dulu yang pernah diraskannya saat manusia belum menghancurkannya. Allah memberikannya seperti itu dulu, tapi sekarang manusia disuruh ngatur aja kagak becus, Siapa Manusia itu? Manusia tersebut adalah manusia Perusak dan Pemimpin yang tidak bisa berbuat ADIL. Manusia perusak tersebut selalu ada, tinggal kita bagaimana meminta pada Allah untuk diberikan Pemimpin yang ADIL. Mereka (perusak) saja tidak tebang pilih dalam menebangi hutan, merampas hak rakyat, kok kenapa Pemimpin dan Penegak Hukum harus tebang pilih... dalam menebang perusak (ilegal loging, koruptor, mafia hukum, dll).
    Walaupun suatu negeri dipenuhi dengan manusia perusak (bejat), tapi bila Pemimpinnya bisa memegang Amanah untuk berbuat ADIL dan Bijaksana maka negeri itu akan menuju kedamaian (seperti Zamannya Rasulullah). Namun bila suatu negeri tersebut dipenuhi oleh orang alim, tapi Pemimpinnya tidak AMANAH dan tidak bisa berbuat ADIL dan Bijaksana maka tunggulah kehancuran Negeri tersebut. Dan secara person (pribadi) kita bisa merasakan masing masing apakah negeri kita ini (Indonesia) menuju kedamaian atau akan menuju kehancuran. Anda bisa merasakan dan Anda bisa menilai.

    BalasHapus
  2. rangkaian kalimat yang sangat indah. subhanallah. perlu belajar banyak nih buat nulis seperti ini. hehehe... thanks bro

    BalasHapus