Kamis, 29 April 2010

NEGERI PARA DRAKULA

Negeri bernama Indonesia kini dipenuhi oleh para drakula. Makhluk imajiner penghisap darah asal negeri Skandinavia yang diklaim setengah manusia dan setan ini selalu membungkus dirinya dengan pakaian necis dan penampilan perlente. Konon, mereka berdarah bangsawan hanya saja mereka bertaring tajam dan runcing.

Di sini, para drakula adalah juga para bangsawan. Statusnya macam-macam, mulai wakil rakyat, kepala daerah, atau sekedar kepala-kepala dinas dan semacamnya. Bahkan, sudah mulai merambah sebagai Kepling atau sekedar Ketua RT/RW. Hanya saja, mereka tidak menghisap darah korbannya langsung. Mereka tidak pernah menggigit leher korbannya. Mungkin sudah mengalami evolusi.

Tapi efeknya tetap sama, rakyat miskin yang memenuhi negeri ini cepat atau lambat mati dibuatnya. Apakah karena kelaparan, bencana yang tidak segera ditangani, sakit yang tak terobati, atau karena dipukuli massa karena kedapatan mencuri.

Drakula di negeri ini justru lebih parah. Mereka tak perlu keluar pada malam hari saja. Di negeri asalnya sana, drakula takut keluar siang hari karena tidak bisa terkena sinar matahari. Di sini, di negeri bernama Indonesia ini, para drakula sambil tidurpun mereka tetap menghisap darah. Dengan regulasi yang mereka buat-buat, kegiatan menghisap darah tak kan pernah dilarang karena memang mereka boleh melakukannya. Dengan aneka dalih dan landasan hukum yang terdengar aneh bagi orang awam, mereka leluasa menghisap darah rakyat miskin.

Mungkin ini yang disebut dulu program pengentasan kemiskinan. Orang miskin harus dikurangi, mungkin dengan dihisap darahnya hingga mati.

Terdengar sarkasme memang, tapi itulah yang terjadi hari ini. Mereka yang mengklaim wakil rakyat rame-rame bancakan uang negara dengan istilah yang bener-bener ajaib. Dan nilainya fantastis, bahkan banyak yang tidak bisa menghitung berapa jumlah nol-nya. Itu belum ditambah dana-dana tunjangan taktis lainnya. Mulai uang sewa rumahlah, uang perjalan dinaslah, uang reseslah, atau hanya uang tunjangan istri, anak, nenek, buyutnya. Yang membuat kita makin miris ada pula istilah take home pay. Aneh-aneh aja istilahnya.

Inilah dia realita di negeri kita. Menjadi pejabat adalah jalan tuntas mengkayakan diri, dengan cara yang sulit diterima akal sehat orang awam.

Beberapa saat yang lalu, seorang teman sambil bercanda berujar, “agar orang miskin bisa berkurang, caranya gampang. Setiap orang diberi kesempatan jadi pejabat, cukup sebulan. Lalu ganti dengan orang miskin lainnya. Dijamin orang miskin di negeri ini berkurang, karena pasti jadi orang kaya.” Sebuah sarkasme yang vulgar. Dalam diam, aku hanya bisa tersenyum kecut.

Sesampai di rumah, aku melihat para tetangga sambil merenung. Apakah untuk kaya, orang harus jadi pejabat. Lalu mereka akan jadi drakula pula. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri, membayangkan tetangga-tetanggaku menjadi drakula. Tanpa sadar, ujung lidah mulai meraba-raba, adakah taring di geligi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar