Tampilkan postingan dengan label ibu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ibu. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Maret 2015

Menghukum Tanpa Marah

menghukum anak masawepdotcomBunda mulia yang dirahmati Allah SWT, ijinkan saya malam ini membagi sedikit ilmu yang saya ingin tambahi. Karena bagi saya, cara termudah melipatgandakan apa yang kita punya adalah membaginya, cara paling gampang belajar adalah mengajarkannya.

Maaf saya yang sebesarnya jika saya terkesan sombong dan merasa lebih pintar dari para bunda mulia. Sungguh, apa yang akan saya sampaikan tak lebih dari pengalaman kami (saya dan istri) dalam menghadapi anak-anak kami yang hebat-hebat itu. Ya, pengalaman kami sebagai orangtua yang terus-menerus belajar sebagai orangtua, yang tak ingin suatu hari nanti di Padang Masyar harus berdebat dengan buah hati kami karena dianggap kami telah jadi orangtua yang gagal.

Para Bunda Mulia, belajar menjadi orangtua adalah sebuah proses tanpa henti tapi punya tujuan yang jelas. Tujuan kita adalah mengantarkan diri kita sendiri dan anak-anak kita dalam jannah Allah SWT. Aamiin ya rabbal ‘alamin.

 

Ibu, Mengapa Marah?


Bunda Mulia, kenapa sih kita marah? Apakah iya kita marah karena ‘kebandelan’ anak-anak kita? Atau jangan-jangan kita kita marah oleh sebab lain, dan ‘kebandelan’ anak kita hanyalah sekedar pemicu kecil.

Baiklah, mari kita perhatikan beberapa kondisi berikut yang sering menyebabkan kita dalam sebuah ketidakstabilan emosi, antara lain:

  1. Kondisi keuangan. Ya... faktor ekonomi sering kali menjadi sebab utama menjadikan kita lebih mudah tersulut amarahnya. Tekanan kebutuhan yang tidak sebanding dengan penghasilan kita sering menjadi masalah yang pelik dan menyita energi emosional kita.

  2. Sedang mengalami kondisi tidak nyaman dengan pasangan kita. Begitulah, saat suami-istri komunikasi sedang terganggu, maka saat itu pulalah komunikasi dengan anak menjadi tergannggu pula. Akibatnya sudah pasti, tiba-tiba saja kita menjadi orangtua yang kesulitan bicara lembut kepada anak-anak kita. Kita kehabisan kata-kata yang lebih baik dalam berrkomunikasi walaupun kita sdh belajar parenting sekalipun, lupa memilih kata yang pas untuk kondisi anak kita saat itu.

  3. Sedang dibebani pekerjaan kantor. Pekerjaan kantor yang menumpuk dan harus diselesaikan dalam waktu yang dekat menjadikan seluruh energi dan perhatian kita tersita. Akibatnya anak hanya mendapatkan sisa, itupun kalau masih ada sisannya. Tak jarang tanpa sadar kita menganggap anak-anak dan rumah adalah tambahan masalah selain beban kantor, sehingga kita pulang kerumah denag mindset negatif.

  4. Ehemmm..... silahkan bagi yang tidak setuju. Tapi apapun ceritanya, kondisi siklus bulanan ini menciptakan ketidaknyamanan yang berimplikasi pada kemampuan menjaga emosi.


Para Bunda Mulia, perhatikanlah. Dari kondisi di atas, adakah hubungannya dengan anak kita? Ternyata tidak ada bukan? Lalu kenapa kita yang minta pengertian mereka? Padahal sesungguhnya kitalah yang butuh pengertian.

Parenting is never about us, is must about them. Parenting itu bukan tentang kita para Bunda Mulia. Parenting itu adalah tentang mereka. Maka pahamilah dulu hal ini, bahwa kita harus menyelesaaikan masalah kita dahulu, masalah kemampuan kita mengontrol emosi kita.

 

Apa Harus Menghukum Anak?


Saat kita mendapati anak kita melakukan aktifitas yang tidak kita setujui, sering kali menjadi pemicu kemarahan kita. Dan kemarahan kita itu berujung pada menghukum. Bisa Bunda perhatikan polanya kan?

‘Bandel’ --> Tidak setuju --> Marah --> Hukuman

Nah, perhatikanlah. Ternyata sering kali hukuman yang kita berikan lebih karena kemarahan kita, bukan karena tingkah anak kita.

Saat kita mendapati perbuatan keliru anak kita, fokus utama yang harus kita lakukan adalah menghentikan kekeliruan itu, menciptakan pemahaman dalam pikirannya atas kekeliruannya tersebut, dan mengambil sebuah momentum bahwa kekeliruannya itu tidak boleh terulang.

Perhatikan polanya.

Keliru --> Hentikan --> Pahamkan --> Tidak diulangi

Adakah bagian marah apalagi hukuman disitu? Ternyata tidak perlu ada Bunda Mulia.

 

Menghukum Tanpa Marah


Namun ada kalanya kita harus menerapkan ketegasan dalam pola asuh. Hal ini ini untuk memberi penekanan yang lebih pada anak akan bahaya atas kekeliruan yang ia lakukan.

Saat anak mengulangi kekeliruannya, beri dia kesempatan untuk membela diri. Ajak dia menyampaikan alasan atau latarbelakang perbuatannya. Sering kali kekeliruan anak tidak sesederhana apa yang kita lihat. Seringkali kekeliruan itu karena sebab lain, dan ia harus kita beri ruang untuk menjelaskan dengan bahasanya.

Dengan membiasakan pola komunikasi demikian, kita sedang melatih anak kita menjadi manusia sejati. Menjadi manusia yang siap menulis sejarah dengan pikirannya. Secemerlang apapun pikiran anak kita hanya akan sia-sia jika ia tak punya kemampuan membahasakannya.

Anak-anak kita adalah pelaku sejarah di masanya. Kita sedang melatih calon-calon pemimpin kehidupan, tepat di dalam rumah kita sendiri. Maka jangan jadi orang pertama yang menghalangi keluarbiasaan anak-anak kita hanya karena kegagalan kita mengelola marah.

Jika pun kita harus tegas, dalam bentuk memberi hukuman, lakukanlah dengan cinta. Jangan pernah menghukum anak kita karena marah, karena kita tidak sedang berhadapan dengan musuh. Kita berhadapan dengan buah hati kita sendiri.

 

Penutup


Kalau Bunda Mulia gagal di hari ini, maka bersiaplah atas keburukan dan kerusakan yang mungkin lebih parah terjadi di depannya nanti. Umur kita hanya tinggal beberapa puluh tahun lagi. Tapi anak-anak kita hidup jauh lebiih lama, dan dia mewarisi pola asuh kita untuk anak-anak mereka. Kita mewarisi keburukan atau keindahan pada keturunan kita, pilihan ada tangan kita saat ini.

Demikianlah Bunda Mulia yang dirahmati Allah SWT. Ayo, terus belajar menjadi orangtua paripurna. Kitapun harus menghebatkan diri kita, karena kita diberkati dengan anak-anak yang hebat.

 

Tulisan ini adalah materi yang saya sampaikan dalam Kajian yang diadakan oleh Fasil 8 Akhwat ODOJ pada Rabu malam (25/03)

Jumat, 19 Desember 2014

Ibu untuk Anak Kita

image

Kunci untuk melahirkan anak-anak yang tajam pikirannya, jernih hatinya dan kuat jiwanya adalah mencintai ibunya sepenuh hati. Kita berikan hati kita dan waktu kita untuk menyemai cinta di hatinya, sehingga menguatkan semangatnya mendidik anak-anak yang dilahirkannya dengan pendidikan yang terbaik. Keinginan besar saja kadang tak cukup untuk membuat seorang ibu senantiasa memberikan senyumnya kepada anak. Perlu penopang berupa cinta yang tulus dari suaminya agar keinginan besar yang mulia itu tetap kokoh.


Uang yang berlimpah saja tidak cukup. Saat kita serba kekurangan, uang memang bisa memberi kebahagiaan yang sangat besar. Lebih-lebih ketika perut dililit rasa lapar, sementara tangis anak-anak yang menginginkan mainan tak bisa kita redakan karena tak ada uang. Tetapi ketika Allah Ta'ala telah memberi kita kecukupan rezeki, permata yang terbaik pun tidak cukup untuk menunjukkan cinta kita kepada istri. Ada yang lebih berharga daripada ruby atau berlian yang paling jernih. Ada yang lebih membahagiakan daripada sutera yang paling halus atau jam tangan paling elegan.

Apa itu? Waktu kita dan perhatian kita.

Kita punya waktu setiap hari. Tidak ada perbedaan sedikit pun antara waktu kita dan waktu yang dimiliki orang-orang sibuk di seluruh dunia. Kita juga mempunyai waktu luang yang tidak sedikit. Hanya saja, kerapkali kita tidak menyadari waktu luang itu. Di pesawat misalnya, kita punya waktu luang yang sangat banyak untuk membaca. Tetapi karena tidak kita sadari –dan akhirnya tidak kita manfaatkan dengan baik—beberapa tugas yang seharusnya bisa kita selesaikan di perjalanan, akhirnya mengambil hak istri dan anak-anak kita. Waktu yang seharusnya menjadi saat-saat yang membahagiakan mereka, kita ambil untuk urusan yang sebenarnya bisa kita selesaikan di luar rumah.

Bagaimana kita menghabiskan waktu bersama istri di rumah juga sangat berpengaruh terhadap perasaannya. Satu jam bersama istri karena kita tidak punya kesibukan di luar, berbeda sekali dengan satu jam yang memang secara khusus kita sisihkan. Bukan kita sisakan. Menyisihkan waktu satu jam khusus untuknya akan membuat ia merasa lebih kita cintai. Ia merasa istimewa. Tetapi dua jam waktu sisa, akan lain artinya.

Sayangnya, istri kita seringkali hanya mendapatkan waktu-waktu sisa dan perhatian yang juga hanya sisa-sisa. Atau, kadang justru bukan perhatian baginya, melainkan kitalah yang meminta perhatian darinya untuk menghapus penat dan lelah kita. Kita mendekat kepadanya hanya karena kita berhasrat untuk menuntaskan gejolak syahwat yang sudah begitu kuat. Setelah itu ia harus menahan dongkol mendengar suara kita mendengkur.

Astaghfirullahal ‘adziim....

Lalu atas dasar apa kita merasa telah menjadi suami yang baik baginya? Atas dasar apa kita merasa menjadi bapak yang baik, sedangkan kunci pembuka yang pertama, yakni cinta yang tulus bagi ibu anak-anak kita tidak ada dalam diri kita.
Sesungguhnya, kita punya waktu yang banyak setiap hari. Yang tidak kita punya adalah kesediaan untuk meluangkan waktu secara sengaja bagi istri kita.

Waktu untuk apa? Waktu untuk bersamanya. Bukankah kita menikah karena ingin hidup bersama mewujudkan cita-cita besar yang sama? Bukankah kita menikah karena menginginkan kebersamaan, sehingga dengan itu kita bekerja sama membangun rumah-tangga yang di dalamnya penuh cinta dan barakah? Bukan kita menikah karena ada kebaikan yang hendak kita wujudkan melalui kerja-sama yang indah?

Tetapi...

Begitu menikah, kita sering lupa. Alih-alih kerja-sama, kita justru sama-sama kerja dan sama-sama menomor satukan urusan pekerjaan di atas segala-galanya. Kita lupa menempat¬kan urusan pada tempatnya yang pas, sehingga untuk bertemu dan berbincang santai dengan istri pun harus menunggu saat sakit datang. Itu pun terkadang tak tersedia banyak waktu, sebab bertumpuk urusan sudah menunggu di benak kita.

Banyak suami-istri yang tidak punya waktu untuk ngobrol ringan berdua, tetapi sanggup menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. Seakan-akan mereka sedang menikmati kebersamaan, padahal yang kerapkali terjadi sesungguhnya mereka sedang menciptakan ke-sendirian bersama-sama. Secara fisik mereka berdekatan, tetapi pikiran mereka sibuk sendiri-sendiri.

Tentu saja bukan berarti tak ada tempat bagi suami istri untuk melihat tayangan bergizi, dari TV atau komputer (meski saya dan istri memilih tidak ada TV di rumah karena sangat sulit menemukan acara bergizi. Sampah jauh lebih banyak). Tetapi ketika suami-istri telah terbiasa menenggelamkan diri dengan tayangan TV untuk menghapus penat, pada akhirnya bisa terjadi ada satu titik ketika hati tak lagi saling merindu saat tak bertemu berminggu-minggu. Ada pertemuan, tapi tak ada kehangatan. Ada perjumpaan, tapi tak ada kemesraan. Bahkan percintaan pun barangkali tanpa cinta, sebab untuk tetap bersemi, cinta memerlukan kesediaan untuk berbagi waktu dan perhatian.

Ada beberapa hal yang bisa kita kita lakukan untuk menyemai cinta agar bersemi indah. Kita tidak memperbincangkannya saat ini. Secara sederhana, jalan untuk menyemai cinta itu terutama terletak pada bagaimana kita menggunakan telinga dan lisan kita dengan bijak terhadap istri atau suami kita. Inilah kekuatan besar yang kerap kali diabaikan. Tampaknya sepele, tetapi akibatnya bisa mengejutkan.

Tentang bagaimana menyemai cinta di rumah kita, silakan baca kembali Agar Cinta Bersemi Indah (Gema Insani Press, 2002, edisi revisi insya Allah akan diterbitkan Pro-U Media). Selebihnya, di atas cara-cara menyemai cinta, yang paling pokok adalah kesediaan kita untuk meluangkan waktu dan memberi perhatian. Tidak ada pendekatan yang efektif jika kita tak bersedia meluangkan waktu untuk melakukannya.

Nah.

Jika istri merasa dicintai dan diperhatikan, ia cenderung akan memiliki kesediaan untuk mendengar dan mengasuh anak-anak dengan lebih baik. Ia bisa memberi perhatian yang sempurna karena kebutuhannya untuk memperoleh perhatian dari suami telah tercukupi. Ia bisa memberikan waktunya secara total bagi anak-anak karena setiap saat ia mempunyai kesempatan untuk mereguk cinta bersama suami. Bukankah tulusnya cinta justru tampak dari kesediaan kita untuk berbagi waktu berbagi cerita pada saat tidak sedang bercinta?

Kerapkali yang membuat seorang ibu kehilangan rasa sabarnya adalah tidak adanya kesediaan suami untuk mendengar cerita-ceritanya tentang betapa hebohnya ia menghadapi anak-anak hari ini. Tak banyak yang diharapkan istri. Ia hanya berharap suaminya mau mendengar dengan sungguh-sungguh cerita tentang anaknya –tidak terkecuali tentang bagaimana seriusnya ia mengasuh anak—dan itu “sudah cukup” menjadi tanda cinta. Kadang hanya dengan kesediaan kita meluangkan waktu untuk berbincang berdua, rasa capek menghadapi anak seharian serasa hilang begitu saja. Seakan-akan tumpukan pekerjaan dan hingar-bingar tingkah anak sedari pagi hingga malam, tak berbekas sedikit pun di wajahnya.

Alhasil, kesediaan untuk secara sengaja menyisihkan waktu bagi istri tidak saja mem¬buat pernikahan lebih terasa maknanya, lebih dari itu merupakan hadiah terbaik buat anak. Perhatian yang tulus membuat kemesraan bertambah-tambah. Pada saat yang sama, menjadikan ia memiliki semangat yang lebih besar untuk sabar dalam mengasuh, mendidik dan menemani anak.

Ya... ya... ya..., cintailah istri Anda sepenuh hati agar ia bisa menjadi ibu yang paling ikhlas mendidik anak-anaknya dengan cinta dan perhatian. Semoga!

Sumber: Catatan di Fanpage FB Ust.Mohammad Fauzil Adhim