Tampilkan postingan dengan label Parenting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Parenting. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 April 2015

Jangan Biarkan Anak Anda Pesta Pora dengan Gadgetnya

Perkembangan teknologi komunikasi memang luar biasa cepatnya. Gadget adalah alat komunikasi mungil yang canggih, serta memiliki fitur yang sangat banyak; seperti tablet, smartphone, netbook, dan lain sebagainya. Tentu banyak manfaat jika digunakan secara benar, tepat dan bijak. Namun menjadi masalah jika digunakan secara tidak pada tempatnya. Apalagi jika gadget digunakan oleh anak-anak yang belum bisa membedakan baik dan buruk. Dampak penggunaan gadget bagi anak-anak bisa sangat membahayakan bagi masa depan mereka, bahkan masa depan negara dan peradaban kemanusiaan. Ditemukan fakta bahwa kehadiran gadget telah mengubah perilaku manusia.

Kamis, 26 Maret 2015

Menghukum Tanpa Marah

menghukum anak masawepdotcomBunda mulia yang dirahmati Allah SWT, ijinkan saya malam ini membagi sedikit ilmu yang saya ingin tambahi. Karena bagi saya, cara termudah melipatgandakan apa yang kita punya adalah membaginya, cara paling gampang belajar adalah mengajarkannya.

Maaf saya yang sebesarnya jika saya terkesan sombong dan merasa lebih pintar dari para bunda mulia. Sungguh, apa yang akan saya sampaikan tak lebih dari pengalaman kami (saya dan istri) dalam menghadapi anak-anak kami yang hebat-hebat itu. Ya, pengalaman kami sebagai orangtua yang terus-menerus belajar sebagai orangtua, yang tak ingin suatu hari nanti di Padang Masyar harus berdebat dengan buah hati kami karena dianggap kami telah jadi orangtua yang gagal.

Para Bunda Mulia, belajar menjadi orangtua adalah sebuah proses tanpa henti tapi punya tujuan yang jelas. Tujuan kita adalah mengantarkan diri kita sendiri dan anak-anak kita dalam jannah Allah SWT. Aamiin ya rabbal ‘alamin.

 

Ibu, Mengapa Marah?


Bunda Mulia, kenapa sih kita marah? Apakah iya kita marah karena ‘kebandelan’ anak-anak kita? Atau jangan-jangan kita kita marah oleh sebab lain, dan ‘kebandelan’ anak kita hanyalah sekedar pemicu kecil.

Baiklah, mari kita perhatikan beberapa kondisi berikut yang sering menyebabkan kita dalam sebuah ketidakstabilan emosi, antara lain:

  1. Kondisi keuangan. Ya... faktor ekonomi sering kali menjadi sebab utama menjadikan kita lebih mudah tersulut amarahnya. Tekanan kebutuhan yang tidak sebanding dengan penghasilan kita sering menjadi masalah yang pelik dan menyita energi emosional kita.

  2. Sedang mengalami kondisi tidak nyaman dengan pasangan kita. Begitulah, saat suami-istri komunikasi sedang terganggu, maka saat itu pulalah komunikasi dengan anak menjadi tergannggu pula. Akibatnya sudah pasti, tiba-tiba saja kita menjadi orangtua yang kesulitan bicara lembut kepada anak-anak kita. Kita kehabisan kata-kata yang lebih baik dalam berrkomunikasi walaupun kita sdh belajar parenting sekalipun, lupa memilih kata yang pas untuk kondisi anak kita saat itu.

  3. Sedang dibebani pekerjaan kantor. Pekerjaan kantor yang menumpuk dan harus diselesaikan dalam waktu yang dekat menjadikan seluruh energi dan perhatian kita tersita. Akibatnya anak hanya mendapatkan sisa, itupun kalau masih ada sisannya. Tak jarang tanpa sadar kita menganggap anak-anak dan rumah adalah tambahan masalah selain beban kantor, sehingga kita pulang kerumah denag mindset negatif.

  4. Ehemmm..... silahkan bagi yang tidak setuju. Tapi apapun ceritanya, kondisi siklus bulanan ini menciptakan ketidaknyamanan yang berimplikasi pada kemampuan menjaga emosi.


Para Bunda Mulia, perhatikanlah. Dari kondisi di atas, adakah hubungannya dengan anak kita? Ternyata tidak ada bukan? Lalu kenapa kita yang minta pengertian mereka? Padahal sesungguhnya kitalah yang butuh pengertian.

Parenting is never about us, is must about them. Parenting itu bukan tentang kita para Bunda Mulia. Parenting itu adalah tentang mereka. Maka pahamilah dulu hal ini, bahwa kita harus menyelesaaikan masalah kita dahulu, masalah kemampuan kita mengontrol emosi kita.

 

Apa Harus Menghukum Anak?


Saat kita mendapati anak kita melakukan aktifitas yang tidak kita setujui, sering kali menjadi pemicu kemarahan kita. Dan kemarahan kita itu berujung pada menghukum. Bisa Bunda perhatikan polanya kan?

‘Bandel’ --> Tidak setuju --> Marah --> Hukuman

Nah, perhatikanlah. Ternyata sering kali hukuman yang kita berikan lebih karena kemarahan kita, bukan karena tingkah anak kita.

Saat kita mendapati perbuatan keliru anak kita, fokus utama yang harus kita lakukan adalah menghentikan kekeliruan itu, menciptakan pemahaman dalam pikirannya atas kekeliruannya tersebut, dan mengambil sebuah momentum bahwa kekeliruannya itu tidak boleh terulang.

Perhatikan polanya.

Keliru --> Hentikan --> Pahamkan --> Tidak diulangi

Adakah bagian marah apalagi hukuman disitu? Ternyata tidak perlu ada Bunda Mulia.

 

Menghukum Tanpa Marah


Namun ada kalanya kita harus menerapkan ketegasan dalam pola asuh. Hal ini ini untuk memberi penekanan yang lebih pada anak akan bahaya atas kekeliruan yang ia lakukan.

Saat anak mengulangi kekeliruannya, beri dia kesempatan untuk membela diri. Ajak dia menyampaikan alasan atau latarbelakang perbuatannya. Sering kali kekeliruan anak tidak sesederhana apa yang kita lihat. Seringkali kekeliruan itu karena sebab lain, dan ia harus kita beri ruang untuk menjelaskan dengan bahasanya.

Dengan membiasakan pola komunikasi demikian, kita sedang melatih anak kita menjadi manusia sejati. Menjadi manusia yang siap menulis sejarah dengan pikirannya. Secemerlang apapun pikiran anak kita hanya akan sia-sia jika ia tak punya kemampuan membahasakannya.

Anak-anak kita adalah pelaku sejarah di masanya. Kita sedang melatih calon-calon pemimpin kehidupan, tepat di dalam rumah kita sendiri. Maka jangan jadi orang pertama yang menghalangi keluarbiasaan anak-anak kita hanya karena kegagalan kita mengelola marah.

Jika pun kita harus tegas, dalam bentuk memberi hukuman, lakukanlah dengan cinta. Jangan pernah menghukum anak kita karena marah, karena kita tidak sedang berhadapan dengan musuh. Kita berhadapan dengan buah hati kita sendiri.

 

Penutup


Kalau Bunda Mulia gagal di hari ini, maka bersiaplah atas keburukan dan kerusakan yang mungkin lebih parah terjadi di depannya nanti. Umur kita hanya tinggal beberapa puluh tahun lagi. Tapi anak-anak kita hidup jauh lebiih lama, dan dia mewarisi pola asuh kita untuk anak-anak mereka. Kita mewarisi keburukan atau keindahan pada keturunan kita, pilihan ada tangan kita saat ini.

Demikianlah Bunda Mulia yang dirahmati Allah SWT. Ayo, terus belajar menjadi orangtua paripurna. Kitapun harus menghebatkan diri kita, karena kita diberkati dengan anak-anak yang hebat.

 

Tulisan ini adalah materi yang saya sampaikan dalam Kajian yang diadakan oleh Fasil 8 Akhwat ODOJ pada Rabu malam (25/03)

Selasa, 24 Maret 2015

Pendapat Prof Sarlito Wirawan tentang Tes Sidik Jari

Setelah kasus Otak Tengah, yang akhir-akhir ini sering ditanyakan kepada saya adalah tentang Test Sidik Jari untuk mengetahui kepribadian anak. Saya sendiri yang sudah 43 tahun malang-melintang di dunia psikologi, belum pernah tahu sebelumnya tentang keberadaan test tersebut dan tidak mau ambil pusing. Paling-paling penipuan lagi, pikir saya.

Tetapi beberapa hari yang lalu, anak saya yang kebetulan juga psikolog, berceritera kepada saya bahwa dia diajak temannya (baca: dikejar-kejar) temannya untuk bergabung dengan usaha dia dalam usaha test Sidik Jari. Lumayan, kata temannya itu. Captive market-nya ibu-ibu yang punya anak kecil, dan sekolah-sekolah, dan biayanya Rp 500.000,-per anak.

Sebagai psikolog professional anak saya meragukan validitas dan reliabilitas (keabsahan dan kesahihan) test itu. Apalagi dengan job dan statusnya yang sudah mapan dan gajinya yang sudah berlipat-lipat di atas UMR, dia tidak mau ambil risiko, karena itu ia minta pendapat saya.

Saya langsung saja menyatakan bahwa saya pun tidak percaya, tetapi saya penasaran. Maka saya pun browsing semua jurnal Psikologi (hampir seluruh dunia yang berbahasa Inggris) yang bisa diakses oleh mesin searcher dari Asosiasi Psikologi Amerika (APA) dimana saya menjadi salah satu anggotanya. Hasilnya menakjubkan, sekitar 40.000 tulisan yang mengandung kata “finger print”. Langsung saya cari judul-judul yang kira-kira terkait dengan sidik jari dalam hubungannya dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak. Hasilnya: NIHIL!

Sedangkan kalau saya gunakan kata kunci Dermatoglyphic (Dermato artinya kulit, Glyphs artinya ukiran, jadi kulit yang berukiran) ada satu keluaran, yaitu tulisan berjudul “Neurodevelopmental Interactions Conferring Risk for Schizophrenia: A Study of Dermatoglyphic Markers in Patients and Relatives”, oleh Avila, Matthew T.; Sherr, Jay; Valentine, Leanne E.; Blaxton, Teresa A.; Thaker, Gunvant K. dalam Schizophrenia Bulletin, Vol 29(3), 2003, halaman 595-605. Jadi tulisan yang satu ini pun hanya tentang hubungan antara gejala sakit jiwa skhizoprenia (yang dipercaya merupakan penyakit turunan) dengan pola sidik jari (yang juga merupakan bawaan).

Sebaliknya, dari Google saya mendapat banyak sekali keluaran setelah memasukkan kata kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera tentang ke-ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini. Bahkan ada iklan promo yang menawarkan test Sidik jari “hanya” untuk Rp 375.000 per anak. Sisanya adalah testimoni dari orang-orang yang pernah mencoba test yang katanya pelaksanaannya sangat mudah. Sedangkan salah satu kalimat promosi mereka adalah bahwa “Analisa sidik jari memiliki tingkat akurasi lebih tinggi daripada metode pengukuran lain. Klaim akurasi 87%”.

Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia” kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.

Tetapi faktanya kan tidak seperti itu. Upaya manusia untuk mempelajari jiwa sudah berawal sejak zaman Socrates, 400 thn sebelum Masehi, dan melalui perjalanan sejarah yang panjang sekali, serta mendapat masukan dari berbagai ilmu, termasuk ilmu faal dan kedokteran, serta matematika, Wilhelm Wundt baru menyatakan Psikologi sebagai Ilmu yang mandiri pada tahun 1879 di Leipzig, Jerman (versi Amerika oleh William James, di sekitar tahun yang sama di Universitas Harvard).

Pasca kelahirannya, Psikologi berkembang terus, termasuk mengupayakan berbagai teknik dan metode untuk mengukur berbagai aspek kepribadian, termasuk test IQ, minat, sikap, bakat, emosi dan seterusnya. Kemajuannya sangat langkah-demi-langkah, tidak ada yang langsung meloncat, dan sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya, setiap kemajuan, temuan atau kritik selalu dilaporkan dalam jurnal-jurnal dan seminar-seminar psikologi seluruh dunia. Karena itulah maka langkah pertama saya adalah mengecek jurnal ilmiah Psikologi untuk memastikan apakah test Sidik Jari ini termasuk metode yang diakui dalam Psikologi atau tidak.

Di sisi lain, teknik analisis sidik jari juga sudah berembang sejak 1800an. Tahun 1880 Dr Henry Faulds melaporkan tentang sistem klasifikasi yang dibuatnya untuk mengidentifikasi seseorang. Tahun 1901 teknik yang disebut Daktiloskopi ini digunakan di Inggris, 1902 di Amerika digunakan di kalangan pegawai negeri, 1905 di Angkatan darat AS, dan sejak 1924 mulai dipakai oleh FBI. Tetapi semuanya adalah untuk menentukan identitas fisik seseorang. Misalnya, apakah benar sidik jari yang ditinggalkan pelaku di TKP (Tempat Kejadian Perkara) perampokan adalah milik si Fulan. Sebelum ditemukan system DNA, Daktiloskopi lah yang menjadi andalan Polisi. Namun di kemudian hari, nampaknya teknik analisis Sidik Jari yang awalnya hanya untuk identifkasi fisik, berkembang menjadi teknik identifikasi psikis (kejiwaan) juga. Ilmuwan Inggris Sir Francis Galton yang masih sepupu Sir Charlis Darwin adalah penganut teori evolusi. Dia percaya bahwa kepribadian ditentukan oleh bakat-bakat yang dibawa sejak lahir dan bakat-bakat itu terukir di sidik jari srtiap orang. Maka ia menerbitkan buku “Finger prints” (1888) dan memperkenalkan klasifikasi sidik jari yang dihubungkan dengan klasifikasi kepribadian.

Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai ilmu pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan jurnal-jurnal “ilmiah” mereka sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.

Ilmu semu lain dalam psikologi yang banyak kita kenal adalah Astrologi (banyak di majalah-majalah wanita dan remaja, tetapi tidak pernah ada di Koran SINDO), Palmistri (ilmu rajah tangan, yang ketika saya mahasiswa sering saya pakai untuk merayu mahasiswi-mahasiswi Fakultas Sastra sambil meraba-raba tangannya), Numerologi (meramal atau menjodohkan orang dengan menggunakan angka-angka tanggal lahir dsb.), Tarrot (dengan menggunakan kartu-kartu) dan masih banyak lagi. Semua itu mengklaim diri sebagai ilmu, lengkap dengan literatur dan teknik masing- masing, dan memang nampaknya sahih dan canggih betul (ada yang putus dari pacar gara-gara bintangnya tidak cocok).

Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa diverifikasi teorinya. Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan hubungan antara singa yang galak, dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia berbintang Leo dengan sifatnya yang galak (banyak juga cewek Leo yang jinak-jinak merpati, loh!).

Dalam hal ilmu Sidik Jari, sama saja. Tidak bisa diverifikasi bagaimana hububnannya antara sidik jari (bawaan) dengan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir, bahkan kesalehan seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun juga termasuk sedikit faktor bawaan.

Pandangan bahwa kepribadian ditentukan oleh fator bawaan (nativisme) sudah lama ditinggalkan oleh Psikologi . Teori yang berlaku sekarang adalah bahwa kepribadian ditentukan oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Karena itu untuk memeriksanya diperlukan proses yang panjang (metode psikodiagnostik, assessment) dan duit yang lumayan banyak.

Karena itu saya tidak pernah menyarankan orang untuk ikut psikotes kalau hanya untuk ingin tahu. Buang-buang duit. Tetapi lebih sia-sia lagi kalau buang duit untuk tes Sidik Jari. Dr Budi Matindas, psikolog (UI) menerangkannya jauh lebih simpel: sidik jari permanen dari lahir sampai mati. Jiwa/kepribadian berubah terus dari bayi sampai tua. Bagaimana sesuatu yang berubah bisa berkorelasi dengan sesuatu yang tidak pernah berubah?

Jakarta, 11 Mei 2011
Sarlito W. Sarwono Tulisan ini dimuat di Koran SINDO 15 Mei 2011

Persiapkan Anak Lelakimu Menjelang Mimpi Basah

Dear Parents…

Salah satu kewajiban orang tua adalah menyiapkan putra putrinya memasuki masa puber / baligh. Biasanya anak perempuan yang lebih sering dipersiapkan untuk memasuki masa menstruasi. Jarang, para ayah yang menyiapkan anak laki-lakinya menghadapi mimpi basah. Ini adalah tanggung jawab Ayah untuk membicarakannya kepada mereka. Mengapa harus ayah ? Karena anak laki-laki yang berusia di atas 7 tahun, membutuhkan waktu yang lebih banyak dengan ayahnya, dari pada dengan ibunya. Dan jika bicara seputar mimpi basah, ibu tentu tidak terlalu menguasai hal-hal seputar mimpi basah dan tidak pernah mengalaminya bukan ? Namun, bila karena satu hal, ayah tak sempat dan tidak punya waktu untuk itu, ibu-lah yang harus mengambil tanggung jawab ini.

 

Tips Menyiapkan Anak Laki-laki Menghadapi Mimpi Basah

Untuk pertama kali, kita akan membicarakan tentang apa itu mimpi basah, dan bedanya mani dengan madzi, dan apa yang harus dilakukan jika keluar cairan tersebut. Agar anak bisa membedakan antara mani dengan madzi, persiapkan terlebih dahulu alat-alatnya :

Untuk mani : Aduk kanji/tepung sagu dengan air, jangan terlalu encer, hingga masih ada butir-butir kecilnya. Beri sedikit bubuk kunyit, hingga menjadi agak kuning. Taruh di wadah/botol.

Untuk madzi : Beli lem khusus, seperti lem UHU. Berikutnya siapkan waktu khusus dengan anak untuk membicarakannya.
Apa saja yang harus disampaikan :

Pertama, sampaikan kepada mereka bahwa saat ini mereka telah tumbuh berkembang menjadi remaja, dengan adanya perubahan-perubahan pada fisik mereka. Dan sebentar lagi mereka akan memasuki masa puber / baligh.

Contoh : “Nak.. ayah lihat kamu sudah semakin besar saja ya..Tuh coba lihat tungkai kakimu sudah semakin panjang, suaramu sudah agak berat. Waah..anak ayah sudah mau jadi remaja nih. Nah, ayah mau bicarain sama kamu tentang hal penting menjelang seorang anak menjadi remaja atau istilahnya ia memasuki masa puber / baligh”

Di awal, mungkin mereka akan merasa jengah dan malu. Namun, yakinkan kepada mereka, bahwa membicarakan masalah tersebut merupakan tanggung jawab kita sebagai orang tua, yang nanti akan ditanyakan oleh Allah di akhirat.

Ketika berbicara dengan anak laki-laki yang belum baligh, gunakan the power of touch. Sentuh bahu atau kepala mereka. Hal ini telah dicontohkan oleh Rosulullah Muhammad yang sering mengusap bahu atau kepala anak laki-laki yang belum baligh. Hal ini dapat menumbuhkan keakraban antara ayah dengan anak. Jika sudah baligh, mereka tidak akan mau kita sentuh.\

Gunakan juga jangkar emosi (panggilan khusus, yang bisa mendekatkan hubungan kita dengan anak), misalnya: nak, buah hati papa, jagoan ayah, dan lain-lain.

 

Sampaikan kepada anak kita : Tentang mimpi basah & mani

Bahwa karena ia telah memiliki tanda-tanda / ciri-ciri memasuki masa puber, maka pada suatu malam nanti, ia akan mengalami mimpi sedang bermesraan dengan perempuan yang dikenal ataupun tidak dikenal. Dan pada saat terbangun, ia akan mendapatkan cairan yang disebut mani. (Kita beri tahukan kepada mereka contoh cairannya, yaitu cairan tepung kanji yang telah kita persiapkan). Peristiwa itu disebut mimpi basah.

Jika seorang anak laki-laki telah mengalami mimpi basah, tandanya ia sudah menjadi seorang remaja / dewasa muda. Dan mulai saat itu, ia sudah bertanggung jawab kepada Tuhan atas segala perbuatan yang ia lakukan, baik berupa kebaikan maupun keburukan. Pahala dan dosa atas perbuatannya itu akan menjadi tanggungannya. Dalam agama Islam, ia disebut sudah mukallaf.

Beritahukan kewajiban yang harus dilakukan setelah mengalami mimpi basah (sesuai dengan ajaran agama masing-masing).Dalam Islam, orang yang mimpi basah diwajibkan untuk mandi besar /mandi junub, yaitu :

  1. Bersihkan kemaluan dari cairan sperma yang masih menempel.

  2. Cuci kedua tangan.

  3. Berniat untuk bersuci

  4. Berwudhu.

  5. Mandi, minimal menyiram air ke bagian tubuh sebelah kanan tiga kali, dan ke bagianj sebelah kiri sebanyak tiga kali, hingga seluruh anggota tubuh terkena air.

  6. Cuci kaki sebanyak tiga kali.


Setelah kita terangkan, minta kepadanya untuk mengulangi apa yang telah kita sampaikan.

 

Tentang madzi

Jika ia melihat hal-hal / gambar-gambar yang tidak pantas dilihat oleh anak (gambar yang tak senonoh), maka bisa jadi, ia akan mengeluarkan cairan yang disebut madzi. (Kita beri tahukan kepada mereka contoh cairannya, yaitu lem UHU).

Cara membersihkannya cukup dengan : mencuci kemaluan, mencuci tangan lalu berwudhu.

Ingatkan kepadanya, jika ia tidak melakukannya, ia tidak bisa sholat dan tidak bisa membaca Al Qur’an.

Setelah kita terangkan, minta kepadanya untuk mengulangi apa yang telah kita sampaikan.

Hal penting yang harus kita ingat sebelum membicarakan masalah ini kepada anak adalah kita berlatih dahulu bagaimana cara menyampaikannya. Mengapa ? Agar komunikasi yang akan kita lakukan tidak tegang, dan berjalan dengan hangat. Agar anak merasa nyaman dan ia dapat menerima pesan yang kita sampaikan dengan baik.

Selamat mencoba …

Disalin ulang dari tulisan ibu Elly Risman

Sabtu, 14 Maret 2015

Selamatkan Anak Kita (dari Kebodohan Kita Sendiri)

 Save Your Childrenwpid-IMG_20150310_141913.jpg
oleh Ibu Elly Risman


Dear Parents, saya suka sekali mencium anak dan cucu-cucu saya, saat harum atau keringatan. Saya berdendang,"Kamu acem tapi mama suka! Mama simpen di otak mama. Bila terlintas ada bau yg sama dimana dan kapan saja, saya teringat anak dan cucu saya yang memiliki 'bau' yang sama. Itu bikin saya tersenyum!


Hari-hari ini saya harus banyak tersenyum menolong jiwa saya sendiri, karena ujian tengah semester dihadapi cucu laki-laki saya pertama, aduhaai beratnya. SD kelas 1, semester1, harus mengarang 1 paragraf dengan judul: Peristiwa penting.


Huaah, dulu waktu anda kelas 1, bukankah anda baru belajar: Ini Budi? Katanya, di TK tidak boleh diajarkan baca tulis! Jadi bagaimana kalau di SD semester 1 harus mengarang?? Belum IPS, matematika, Bahasa Inggris dan lain-lain.


Paman memetik 40 jeruk, diberikan tetangganya14 lalu memetik 30 lagi, berapa jeruk paman sekarang?
IPS: tempat beribadah umat Budha?
Apa bahasa Inggrisnya kompor? Kursi roda?


Bahasa Indonesianya saja belum lempeng! Apakah ayah ibu dulu belajar bahasa Inggris di kelas 1? Bayangkan kalau anak dipaksa ortunya masuk SD usia 5.5 - 6 tahun?


Kalau dia tidak bisa, di rumah akan kena marah. PeEr mesti selesai, abis itu Les!


Ah, saya dulu masuk SD usia 5 juga! Bela ortunya. Kasihan sekali ortu ini, mereka lupa dulu pelajarannya tak seberat sekarang! Pulang masih bisa main. Bukankah anak kita sudah tercerabut dari masa bermainnya terlalu cepat? Stress di usia sangat muda?


Engkaukah itu anakku? Buah hatiku?


Dulu, pulang sekolah masih bisa main masak-masakan, layang-layang, tangkap kecebong di got! Dari mulai berangkat sekolah sampai di rumah, berapa jam dalam situasi 'belajar'?


Apalagi kalau pengasuhannya disubkontrakkan ke tangan orang lain. Kesal dan gembira tidak tahu kemana diadukan. Anak dapat sisa-sisa waktu dan tenaga. Ortu mudah marah.


Begitulah, hari berganti minggu, bulan dan tahun, tidak terasa anak pra remaja. Waktu diganti dengan uang dan benda. Jiwanya hampa, pikiran tak terjaga. Tantangan dan bencananya tak tampak pada mata, tak terdengar telinga!


Kita silap, anak kita generasi gadget. Perangkat dan pulsanya kita belikan. Lari dari stress, 'hampa' dan peer pressure, anak berselancar di dunia maya tak bertepi. 3-7 jam sehari.


Sangat mungkin ia terpapar Pornografi. Ortu tidak sadar otak mulai terganggu. Yang ortu tahu, anaknya malas, susah bangun, tidak mau les, prestasi menurun, melawan, dan gadget di tangan melulu.


Bagian kontrol di otak depan belum sempurna berkembang. Seharusnya ortu pengontrolnya. Jarak terentang selama ini membuat ortu kehilangan.


Anak mana yang empuk disasar Narkoba dan Pornografi? Yang Boring, Lonely, Angry, Tired and Stress!


Engkaukah itu anakku? Engkaukah buah hatiku?


Selalu ada harapan.
Karena Dia Maha pengasih.
Otak bisa direkonstruksi!


Mari selesaikan urusan dengan diri sendiri, agar hati penuh kasih!


#SaveYourChildren

Jumat, 19 Desember 2014

Ibu untuk Anak Kita

image

Kunci untuk melahirkan anak-anak yang tajam pikirannya, jernih hatinya dan kuat jiwanya adalah mencintai ibunya sepenuh hati. Kita berikan hati kita dan waktu kita untuk menyemai cinta di hatinya, sehingga menguatkan semangatnya mendidik anak-anak yang dilahirkannya dengan pendidikan yang terbaik. Keinginan besar saja kadang tak cukup untuk membuat seorang ibu senantiasa memberikan senyumnya kepada anak. Perlu penopang berupa cinta yang tulus dari suaminya agar keinginan besar yang mulia itu tetap kokoh.


Uang yang berlimpah saja tidak cukup. Saat kita serba kekurangan, uang memang bisa memberi kebahagiaan yang sangat besar. Lebih-lebih ketika perut dililit rasa lapar, sementara tangis anak-anak yang menginginkan mainan tak bisa kita redakan karena tak ada uang. Tetapi ketika Allah Ta'ala telah memberi kita kecukupan rezeki, permata yang terbaik pun tidak cukup untuk menunjukkan cinta kita kepada istri. Ada yang lebih berharga daripada ruby atau berlian yang paling jernih. Ada yang lebih membahagiakan daripada sutera yang paling halus atau jam tangan paling elegan.

Apa itu? Waktu kita dan perhatian kita.

Kita punya waktu setiap hari. Tidak ada perbedaan sedikit pun antara waktu kita dan waktu yang dimiliki orang-orang sibuk di seluruh dunia. Kita juga mempunyai waktu luang yang tidak sedikit. Hanya saja, kerapkali kita tidak menyadari waktu luang itu. Di pesawat misalnya, kita punya waktu luang yang sangat banyak untuk membaca. Tetapi karena tidak kita sadari –dan akhirnya tidak kita manfaatkan dengan baik—beberapa tugas yang seharusnya bisa kita selesaikan di perjalanan, akhirnya mengambil hak istri dan anak-anak kita. Waktu yang seharusnya menjadi saat-saat yang membahagiakan mereka, kita ambil untuk urusan yang sebenarnya bisa kita selesaikan di luar rumah.

Bagaimana kita menghabiskan waktu bersama istri di rumah juga sangat berpengaruh terhadap perasaannya. Satu jam bersama istri karena kita tidak punya kesibukan di luar, berbeda sekali dengan satu jam yang memang secara khusus kita sisihkan. Bukan kita sisakan. Menyisihkan waktu satu jam khusus untuknya akan membuat ia merasa lebih kita cintai. Ia merasa istimewa. Tetapi dua jam waktu sisa, akan lain artinya.

Sayangnya, istri kita seringkali hanya mendapatkan waktu-waktu sisa dan perhatian yang juga hanya sisa-sisa. Atau, kadang justru bukan perhatian baginya, melainkan kitalah yang meminta perhatian darinya untuk menghapus penat dan lelah kita. Kita mendekat kepadanya hanya karena kita berhasrat untuk menuntaskan gejolak syahwat yang sudah begitu kuat. Setelah itu ia harus menahan dongkol mendengar suara kita mendengkur.

Astaghfirullahal ‘adziim....

Lalu atas dasar apa kita merasa telah menjadi suami yang baik baginya? Atas dasar apa kita merasa menjadi bapak yang baik, sedangkan kunci pembuka yang pertama, yakni cinta yang tulus bagi ibu anak-anak kita tidak ada dalam diri kita.
Sesungguhnya, kita punya waktu yang banyak setiap hari. Yang tidak kita punya adalah kesediaan untuk meluangkan waktu secara sengaja bagi istri kita.

Waktu untuk apa? Waktu untuk bersamanya. Bukankah kita menikah karena ingin hidup bersama mewujudkan cita-cita besar yang sama? Bukankah kita menikah karena menginginkan kebersamaan, sehingga dengan itu kita bekerja sama membangun rumah-tangga yang di dalamnya penuh cinta dan barakah? Bukan kita menikah karena ada kebaikan yang hendak kita wujudkan melalui kerja-sama yang indah?

Tetapi...

Begitu menikah, kita sering lupa. Alih-alih kerja-sama, kita justru sama-sama kerja dan sama-sama menomor satukan urusan pekerjaan di atas segala-galanya. Kita lupa menempat¬kan urusan pada tempatnya yang pas, sehingga untuk bertemu dan berbincang santai dengan istri pun harus menunggu saat sakit datang. Itu pun terkadang tak tersedia banyak waktu, sebab bertumpuk urusan sudah menunggu di benak kita.

Banyak suami-istri yang tidak punya waktu untuk ngobrol ringan berdua, tetapi sanggup menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. Seakan-akan mereka sedang menikmati kebersamaan, padahal yang kerapkali terjadi sesungguhnya mereka sedang menciptakan ke-sendirian bersama-sama. Secara fisik mereka berdekatan, tetapi pikiran mereka sibuk sendiri-sendiri.

Tentu saja bukan berarti tak ada tempat bagi suami istri untuk melihat tayangan bergizi, dari TV atau komputer (meski saya dan istri memilih tidak ada TV di rumah karena sangat sulit menemukan acara bergizi. Sampah jauh lebih banyak). Tetapi ketika suami-istri telah terbiasa menenggelamkan diri dengan tayangan TV untuk menghapus penat, pada akhirnya bisa terjadi ada satu titik ketika hati tak lagi saling merindu saat tak bertemu berminggu-minggu. Ada pertemuan, tapi tak ada kehangatan. Ada perjumpaan, tapi tak ada kemesraan. Bahkan percintaan pun barangkali tanpa cinta, sebab untuk tetap bersemi, cinta memerlukan kesediaan untuk berbagi waktu dan perhatian.

Ada beberapa hal yang bisa kita kita lakukan untuk menyemai cinta agar bersemi indah. Kita tidak memperbincangkannya saat ini. Secara sederhana, jalan untuk menyemai cinta itu terutama terletak pada bagaimana kita menggunakan telinga dan lisan kita dengan bijak terhadap istri atau suami kita. Inilah kekuatan besar yang kerap kali diabaikan. Tampaknya sepele, tetapi akibatnya bisa mengejutkan.

Tentang bagaimana menyemai cinta di rumah kita, silakan baca kembali Agar Cinta Bersemi Indah (Gema Insani Press, 2002, edisi revisi insya Allah akan diterbitkan Pro-U Media). Selebihnya, di atas cara-cara menyemai cinta, yang paling pokok adalah kesediaan kita untuk meluangkan waktu dan memberi perhatian. Tidak ada pendekatan yang efektif jika kita tak bersedia meluangkan waktu untuk melakukannya.

Nah.

Jika istri merasa dicintai dan diperhatikan, ia cenderung akan memiliki kesediaan untuk mendengar dan mengasuh anak-anak dengan lebih baik. Ia bisa memberi perhatian yang sempurna karena kebutuhannya untuk memperoleh perhatian dari suami telah tercukupi. Ia bisa memberikan waktunya secara total bagi anak-anak karena setiap saat ia mempunyai kesempatan untuk mereguk cinta bersama suami. Bukankah tulusnya cinta justru tampak dari kesediaan kita untuk berbagi waktu berbagi cerita pada saat tidak sedang bercinta?

Kerapkali yang membuat seorang ibu kehilangan rasa sabarnya adalah tidak adanya kesediaan suami untuk mendengar cerita-ceritanya tentang betapa hebohnya ia menghadapi anak-anak hari ini. Tak banyak yang diharapkan istri. Ia hanya berharap suaminya mau mendengar dengan sungguh-sungguh cerita tentang anaknya –tidak terkecuali tentang bagaimana seriusnya ia mengasuh anak—dan itu “sudah cukup” menjadi tanda cinta. Kadang hanya dengan kesediaan kita meluangkan waktu untuk berbincang berdua, rasa capek menghadapi anak seharian serasa hilang begitu saja. Seakan-akan tumpukan pekerjaan dan hingar-bingar tingkah anak sedari pagi hingga malam, tak berbekas sedikit pun di wajahnya.

Alhasil, kesediaan untuk secara sengaja menyisihkan waktu bagi istri tidak saja mem¬buat pernikahan lebih terasa maknanya, lebih dari itu merupakan hadiah terbaik buat anak. Perhatian yang tulus membuat kemesraan bertambah-tambah. Pada saat yang sama, menjadikan ia memiliki semangat yang lebih besar untuk sabar dalam mengasuh, mendidik dan menemani anak.

Ya... ya... ya..., cintailah istri Anda sepenuh hati agar ia bisa menjadi ibu yang paling ikhlas mendidik anak-anaknya dengan cinta dan perhatian. Semoga!

Sumber: Catatan di Fanpage FB Ust.Mohammad Fauzil Adhim

Selasa, 29 April 2014

Hati-hati Menyebut Anak Gemuk, Dapat Menyebabkan Obesitas Saat Dewasa

image



Para orangtua, jangan pernah sekalipun menyebut anak gadis Anda 'terlalu gemuk' jika tidak ingin sang buah hati menjadi obesitas di masa depan.
Menurut penelitian, remaja putri yang dipanggil 'gemuk' atau 'gendut' cenderung lebih tinggi risikonya untuk mengalami kegemukan saat dewasa nanti.
Saat melihat tubuh anaknya terlalu gemuk, para orangtua mungkin akan merasa prihatin dan mencoba menyadarkan sang anak agar menjaga pola makannya.
Namun seringkali cara mereka keliru, salah satunya dengan berkata seperti, 'kamu harus jaga makan, tubuh kamu sudah sangat gemuk.' Namun label 'gemuk' yang datang dari orangtua, keluarga maupun lingkungan bukannya menyemangati para gadis muda ini untuk menjadi lebih sehat tapi justru memperburuk masalah berat badan mereka.

Ingat, Membentak & Memukul Hanya Melahirkan Anak Yang Bodoh

image



Cara mendidik anak dengan pukulan dan teriakan bisa menjadi salah satu penyebab anak menjadi bodoh. “Otak yang seharusnya dipakai untuk berpikir, hanya dipakai untuk mempertahankan hidup akibat pukulan dan teriakan,” kata Psikolog Ery Soekresno dalam seminar “Mendidik Anak Tanpa Pukulan dan Teriakan”.

Ery menyatakan, mendidik anak dengan cara pukulan dan teriakan memang bisa mempercepat anak untuk mengerti melakukan sesuatu tindakan, namun hal itu bukan suatu penyadaran terhadap anak, karena ada unsur keterpaksaan. Sebab, menegakkan disiplin dan aturan adalah melatih anak untuk dapat mengendalikan dorongan dari dalam dirinya sehingga tercapai tujuan yang mulia.