Tampilkan postingan dengan label memberi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label memberi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 Maret 2015

Seni Memberi

image

Seorang pengemis setengah baya mengiba di balik jendela mobil seorang sahabat, pengusaha muda, Gadis namanya. Ia hanya mengangkat tangan tanda tak bersedia memberikan uang diimbuhi kalimat singkat, "Maaf!"
"Seribu, 2.000 saja, Non, buat makan!" si pengemis tetap mengiba. “Maaf,” katanya lagi. Lampu hijau menyala, Gadis melaju meninggalkan lampu merah tanpa memberi sepeser pun pada si pengemis.
Di sebuah pertigaan, seorang nenek tua tampak sabar memungut satu per satu botol dan gelas bekas minuman mineral di pinggir jalan. Gadis meminggirkan mobilnya, turun dan mengobrol sebentar dengan sang nenek. Sejurus kemudian, mengulurkan uang 50 ribuan dari dompet tanpa diminta.
Segenap doa keluar dari mulut sang nenek agar rezeki mengalir buat sang pemberi sedekah. Sahabat saya hanya tersenyum dan berlalu.
Sejam kemudian, ia bertemu seorang kakek penjual pisang. Lagi-lagi, Gadis memberhentikan kendaraannya."Berapa, Pak?" "20 ribu setandan.” Gadis mengeluarkan uang 100 ribuan dan mengambil pisang setandan, kemudian berlalu tanpa mengambil uang kembalian.
Kejadian berturut-turut tadi sebenarnya bukan hal luar biasa. Siapa pun yang dekat dengan si Gadis terbiasa melihatnya menghentikan kendaraan mendadak mengikuti dorongan hati. Tetapi, pilihannya hari ini mengusik keingintahuan saya yang sejak tadi hanya duduk di sisinya dan memperhatikan.
"Kalau boleh tahu, mengapa kamu tidak bersedekah kepada si pengemis walau hanya 2.000, tapi memberi pemulung dan penjual pisang uang cukup besar?" Gadis terdiam sebentar sebelum menjawab.
"Kamu tahu, sebagian orang mungkin berpikir, jika memiliki uang Rp 50 ribu dan diberikan ke masing-masing pengemis Rp 2.000 maka akan membahagiakan 25 orang. Sedangkan, jika memberi Rp 50 ribu pada satu pemulung atau penjual tua berarti hanya membahagiakan satu orang saja."
Saya tak menyela, sebaliknya, meminta teman baik semasa sekolah itu kesempatan melanjutkan. "Tapi, saya memilih memberi satu pemulung atau penjual tua uang dalam jumlah lebih daripada uang kecil kepada banyak pengemis. Sebab, pengemis yangkita jumpai di jalan raya sebagian besar bukan tidak mampu melakukan pekerjaan. Mereka mengemis sebagai profesi. Mereka punya baju bagus, tapi memilih memakai baju lusuh agar membangkitkan simpati. Ini manipulasi. Saya tidak rela bersedekah karena dimanipulasi."
Saya mengangguk.Sepakat dengan penjelasannya. "Jika saya memberi 25 orang pengemis, berarti saya mendukung orang sebanyak itu untuk terus mengemis dan membiarkan mereka memanipulasi rasa kasihan orang. Sebaliknya, jika saya bersedekah kepada satu pemulung atau penjual tua, berarti saya memberi dukungan pada mereka yang mau bekerja keras untuk menghasilkan uang, bukan dengan mengemis, meskipun secara fisik sudah renta."
Kalimat-kalimat berikutnya lahir diiringi senyum geli. “Dulu saya pernah menawarkan pekerjaan kepada beberapa pengemis. Sebagian bertanya, apakah pekerjaan yangsaya tawarkan bisa menghasilkanRp 10 juta sebulan sebagaimana mengemis?"
Pertanyaan balik yang sempat mengagetkannya, sebab sebagian besar pegawainya saja tidak memiliki penghasilan sedemikian. "Serius, para pengemis bisa dapat Rp 10 juta sebulan?"
Anggukan kepala si Gadis sepenuhnya menghapus keraguan."Awalnya, saya juga tidak percaya. Tapi, coba hitung. Rata-rata lampu merah berhenti 60 detik. Berarti dalam satu jam ada 60 kali lampu merah. Jika pengemis mengejar tiap peluang lampu merah dan setiap lampu merah mendapat Rp 2.000, maka sejam diprediksi penghasilannyabisa mencapai Rp 120 ribu. Jika bekerja selama delapan jam penuh maka potensi penghasilannya mencapai Rp 960 ribu per hari. Anggap ia hanya menunggu di satu sisi, berarti dia akan mendapat Rp 480 ribu per hari. Wajar jika mengemis menjadi bisnis besar. Bahkan,ada pihak yang mengumpulkan mereka untuk dikaryakan sebagai pengemis."
Mobil telah terparkir di halaman rumah saya. Sebelum berpisah, sang sahabat menutup pembicaraan. "Wallahua'lam apakah cara saya salah. Hanya, rasanya tidak adil jika pengemis mendapat penghasilan lebih dari mereka yang bekerja keras. Berbeda jika ada pengemis di daerah bencana yang meminta-minta karena kehilangan segalanya.” Saya mengangguk, melambaikan tangan hingga kendaraannya menghilang di gerbang kompleks.
Begitu banyak keutamaan bersedekah yang Rasulullah sampaikan menjadi motivasi tersendiri untuk berbagi. Sedekah bisa menambah rezeki, juga menolak bala. Sedekah memadamkan amarah Allah. Sedekah yang ikhlas mampu menolak su’ul khatimah atau jelek dalam menemui kematian. Sedekah pun bisa menjadi jalan kesembuhan.
Bahagia ada bukan karena menerima, melainkan dengan memberi. Mengenal si Gadis bertahun-tahun cukup bagi saya untuk mengerti jalan sedekah yang dipilih-Nya demi membuka pintu keridhaan Allah. Hari ini, ditambah sebuah pelajaran baru, menggabungkan semangat berbagi dengan seni memberi. Memilih dengan bijak dari begitu banyak cara berbagi hingga lebih banyak mendatangkan manfaat dan kebaikan.


Oleh Asma Nadia