Selasa, 24 Maret 2015

Masih Layakkah Jokowi?

Minggu ini, dibeberapa Universitas sudah melakukan gerakan mengkritisi pemerintahan Jokowi. Meresponpon kegagalan pemerintahan Jokowi mengelola negeri ini.

Di tangan Jokowi kesemrawutan tata kelola pemerintahan berlangsung. Ada sentripetal kekuasaan yang tidak wajar. Ada the man bihind dalam psikologi tata kelola pemerintahan Jokowi-JK. Seakan sistem ownership pemerntahan bertumpuk-tumpuk di tangan elit tertentu di salah satu partai penguasa. Si ratu feodal begitu berkuasa. Dalam pengambilan kebijakan strategis, Jokowi tak berdaya dan terkikis oleh hegemoni politik elit di belakang layar pemerintahan.

Struktur pemerintahan menjadi alat akomodasi politik, dan itu dikendalikan oleh elit-elit partai tertentu yang perannya begitu super hebat. Akibatnya, sumber daya pemerintahan tergerus untuk urusan politik. Pemerintahan Jokowi surplus politik dan defisit kinerja.

Program Nawacita yang diumbar ke publik, tak mampu memperkuat fondasi sosial, politik dan ekonomi. Terlebih-lebih fondasi ekonomi kita yang tak mampu mengapresiasi exchange rate rupiah terhadap US$. Rupiah tergerus menembus angka Rp.13.000. Selama pemerintahan Jokowi, -/+ dua kali nilai tukar rupiah mengalami gerakan ekuilibrasi. Di tengah melorotnya nilai tukar rupiah terhadap US$, Menkeu bikin pernyataan, bahwa stiap kali rupiah melemah Rp. 100 menimbulkan surplus Rp.2,3 triliun APBN. Surplus ini ditarik dari peningkatan sumbangan ekspor migas dan pertambangan.

Tentu statemen Menkeu ini harus diverifikasi lebih lanjut, menimbang, dari tahun ke tahun, lifting minyak nasional terus melorot. Indonesia tak lagi menjadi negara net ekspor. Bahkan sektor migas pada tahun 2014, menjadi penyumbang difisit terbesar bagi defisit neraca perdagangan nasioal. Disektor pertambangan misalnya, ketika PT Antam minta penyertaan modal negara (PMN) ke DPR, perusahan tambang pelat merah ini menelan rugi Rp 775,28 miliar pada 2014. Derita kerugian itu disebabkan oleh kebijakan pemerintah melarang ekspor biji mineral mentah dan penurunan penjualan didorong oleh pelemahan harga komoditas di negara tujuan ekspor, terutama nikel dan emas. Inilah salah satu contoh sektor pertambangan.

Data BPS menyebutkan, dibandingkan Desember 2014, ekspor migas mengalami penurunan 11,75%. Di mana, ekspor minyak mentah turun 31,67%, ekspor hasil minyak turun 7,45%. Saya sarankan, Menkeu jangan bikin pencitraan di tengah terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap US$.

Yang jelas saat ini, kinerja pemerintahan Jokowi yang buruk, telah menjadi sentimen negatif pasar dalam negeri. Pemerintahan Jokowi lemah, getas dan mudah tergerus oleh otoritas politik di sekelilingnya. Jokowi tak berdaya sebagai seorang presiden.

Suasana di atas mulai direspon masyarakat kampus. Mahasiwa mulai masif turun ke jalan. Namun tersiar kabar, ada upaya gerakan silent sistematis membungkam pers, agar tidak mengabarkan berita gerakan mahasiswa. Terbukti, minggu kedua bulan Maret 2015, begitu masifnya mahasiswa turun ke jalan memikul keranda jenaza Jokowi, namun nyaris berita gerakan mahasiswa tersebut tenggelam oleh pemberitaan. Ada apa?

Kalau benar pers terlibat dalam upaya pembungkaman gerakan mahasiswa, maka prilaku pers Indonesia makin menjelaskan pada publik, bahwa tak ada lagi prinsip jurnalisme perjuangan di republik ini. Pers telah menjadi instrumen rezim pemerintahan yang pasif.

Mahasiswa sebagai salah satu pilar demokrasi, disumbat salurannya melalui media mainstream.

Ketika media mainsntream gagal sebagai salah satu pilar demokrasi, apalagi yang kita tunggu wahai masayarakat citizen journalism, masyarakat sosial media, baik bloger dan penulis pejuang lainnya. Angkat penamu, tuliskan dikertasmu dengan darah perjuangan. Mari kita masuk ke dalam barisan Mahasiswa yang mulai bersuara mengkritisi kegagalan Jokowi-JK. Merdeka !!!

 

Disalin ulang dari tulisan Munir A.s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar