Kamis, 18 Desember 2014

Kita Perlu Menasehati Presiden Biar Gak Lebay

USIA kepemimpinan Ir. Joko Widodo sebagai presiden belum seumur jagung – yang kerap disebut di kisaran tiga bulan atau seratus harian, dari menanam hingga panen. Mengacu pelantikannya per 20 Oktober 2014, berarti akan dua bulan kurang dua hari dua bulannya. Alias 58 hari. Belum bisa disebut ia memanen hasil. Jauuuuh.

Didampingi Drs. H. Jusuf Kalla, menjaring dan kemudian menetapkan sejumlah “pembantu”nya, menteri-menteri yang kemudian disebut sebagai Kabinet Kerja. Kendati dalam bilangan belum memanen, namun sejumlah kebijakan Jokowi sebagai komandan maupun menterinya cukup mencengangkan. Mungkin benar sesuai dengan acuannya: kerja, kerja, kerja.

Dan betul. Menteri Susi Pudjiastuti segera mencuat dengan gebarakannya, melampaui sejumlah nama menteri yang masih belum gegas melangkah kerja. Yakni dengan bersetuju menenggelamkan “kapal” asing yang suka mencuri ikan di perairan Nusantara ini. Lalu Menteri Anies Baswedan dengan keputusannya nan membingungkan saya. Walau, “Biarlah saya yang menangggung!” tandasnya, sebagai komandan atas keputusannya “menghentikan” Kurikulum 2013 itu hasil kerja Menteri M. Nuh, Menteri Pendidikan sebelumnya.

Dua saja dari menteri yang dalam dua bulan Kabinet Kerja ini, kemudianditenggelamkan atau tetap di bawah komando Presiden Kerempeng – yang kerap disebutkan oleh ketua Umum PDI Perjuangan atas anggotanya itu. Karena Jokowi sudah berbicara di dunia internasional, bahkan ia membuktikan bisa berbahasa Inggris, walau itu ada semacam ketidakkonsistenannya untuk berbicara dalam bahasa Indonesia di Rapat internasional sekalipun. OK. Itu hanya masalah “teknis”.

Yang kita tercengang, sebagai Presiden masih dengan gayanya yang super itu. Super di sini cenderung bisa memboroskan energi. Benar. Bahwa ia blusukan itu untuk mengetahui secara persis apa pemasalahan di bawah atau kondisi dan keinginan rakyat. Namun, apakah mesti begitu show of force-nya nan mencengangkan? Semisal, ia memanjat tower di Kepulauan Sebatik segala?

Jelas, bila Jokowi berlumpur ketika meninjau lokasi longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, yang menelan korban hampir seratus jiwa itu.  Sebagai bentuk konkret pemimpin yang “bekerja” dan empati terhadap warganya: “Yang paling utama pencarian korban!” serunya, tak ragu.

Kembali ke soal Presiden penekan utawa memanjat tower (lihat gambar).

[caption id="attachment_1776" align="alignnone" width="513"]jokowi manjat tower Aksi Presiden memanjat “tower” di Pulau Sebatik. (repro: Merdeka.Com)[/caption]

Di sini kita seperti melihat sebuah pemandangan atau akrobat kebablasan seorang kepala negara. Kenapa?  Karena ketika tiba di atas, dan melihat kondisi tower, itu merupakan hal teknis yang di seluruh pelosok negeri ada. Artinya, ya bukan soal prinsip benar. Karena, toh ia bisa menjewer siapa si penanggung jawab di lingkungan tower itu. Sama seperti kondisi jembatan, bangunan atau apa pun yang ada di pelosok negeri. Dengan segala kondisinya. Dan itu bukan pekerjaannya – karena selama dua bulan lalu “pembangunan” itu sudah ada.

Jika kepala Negara sampai jatuh dari acara naik tower, apa itu bukan sebuah kerugian besar? Apalagi bila akibatnya fatal. Padahal, tower itu “kecil” sekali dari gagasan besar Jokowi dengan pembangunan kemaritiman yang diimpikan dan telah “dijual” ke pihak luar negeri, atawa negara-negara G-20. Di mana negeri ini ingin bermarwah sebagai Jayamahe. Berjaya di wilayah kelautan.

Dari peristiwa kecil itu, rasanya kita, rakyat, berhak memperingatkan presidennya: untuk bekerja lebih proporsional. Tak menyerempet-nyerempet bahaya. Mengingat sejumlah persoalan di negeri ini yang ditata oleh pemimpin sebelumnya yang bisa disebut belum rapi, ada segunung persoalan. Sehingga rentang waktu lima tahun kepemimpinan seorang anak pinggir kali Solo yang belajar di Kehutanan di UGM menjadi lebih fokus. Dan bisa lebih mencapai hasil.

Percayalah, Pak Presiden. Anda sudah benar menjadikan kepemimpinnnya dengan “bekerja”. Namun waktu yang terbatas untuk membenahi karut-marut negeri ini pun perlu dimanajemeni secara baik. Dan benar. ***

 

Ditulis oleh Thamrin Sonata, seorang freelance writer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar