Sabtu, 06 April 2013

GAM Sudah Hijrah, Kok Masih Sembah Berhala?

image



Sejak tanggal 25 Agustus 2005, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah ‘hijrah’ dari jaman pemberontakan ke jaman pembangunan. ‘Hijrah’ ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman/MoU Helsinki oleh delegasi GAM dan delegasi pemerintah Republik Indonesia (RI).


Romantisme GAM dan pemerintah RI mulai tumbuh sejak itu, karena masing-masing pihak memegang teguh nota kesepahaman yang ditandatangani oleh kedua pihak tersebut. Bahkan mantan anggota GAM mulai meninggalkan simbol, lambang maupun atribut separatisnya demi mematuhi dan mentaati nota kesepahaman Helsinki. (Dalam tulisan ini mengapa saya gunakan istilah “mantan”, karena tidak satupun pejabat GAM yang terlibat dalam MoU tersebut mau mengaku sebagai anggota GAM pasca ditandatanganinya MoU Helsinki).
Sejak Dr. Zaini Abdullah menjabat sebagai Gubernur Provinsi Aceh pada tahun lalu, romantisme antara pemerintah pusat dan mantan GAM, berangsur-angsur mulai memudar. Penyebabnya antara lain yaitu disahkankannya Qanun (peraturan daerah) No.3/2013 tentang Bendera dan Lambang Provinsi Aceh pada tanggal 25 Maret 2013 oleh sang gubernur yang telah lama bermukim di Swedia ini.
Pemerintah pusat tentunya tidak akan kebakaran jenggot jika bendera dan lambang provinsi Aceh yang disahkan Zaini tidak menyerupai simbol / lambang GAM, tapi yang terjadi adalah kebalikannya. Zaini Abdullah justru mengesahkan bendera dan lambang GAM sebagai bendera dan lambang provinsi Aceh.
Dalam keterangan pers, Zaini Abdullah mengaku bahwa bendera dan lambang GAM tersebut adalah aspirasi masyarakat Aceh yang telah disampaikan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), namun pada kenyataannya, tidak sedikit masyarakat Aceh yang menolak digunakannya bendera dan lambang GAM sebagai simbol provinsi Aceh, dengan pertimbangan bahwa bendera dan lambang GAM tidak mencerminkan budaya Aceh secara keseluruhan, tidak mencerminkan syariat Islam, hanya mementingkan para mantan anggota GAM dan dianggap sebagai upaya untuk menghapus jejak sejarah kesultanan Aceh yang sejak lama telah memiliki bendera dan lambang sendiri (berbeda dengan bendera dan lambang GAM).
Aksi penolakan terhadap bendera dan lambang GAM telah berulang kali dilakukan oleh masyarakat Aceh yang bukan merupakan mantan anggota GAM, namun Gubernur dan DPR Aceh seakan buta dan tuli dalam melihat dan mendengar aspirasi tersebut. Aspirasi masyarakat Aceh non GAM yang menolak digunakannya bendera dan lambang GAM sebagai bendera dan lambang provinsi Aceh, bukan sekedar egosentris sektoral, melainkan didasari oleh Pasal 4.2 MoU Helsinki yang berbunyi, “GAM undertakes to demobilise all of its 3000 military troops. GAM members will not wear uniforms or display military insignia or symbols after the signing of this MoU” (GAM diharuskan membubarkan 3.000 anggota pasukan militernya, anggota GAM dilarang menggunakan seragam atau atribut militer GAM atau simbol-simbol sejak MoU ditandatangani).
Sejak ditandatanganinya MoU Helsinki hingga saat ini, para mantan anggota GAM yang duduk di legislatif maupun eksekutif menyatakan setia kepada negara RI, namun mengapa masih menjunjung tinggi simbol-simbol GAM ?
Jika pasca MoU Helsinki para mantan anggota GAM masih tetap menggunakan simbol-simbol GAM, maka pantaslah jika ada komentar, “GAM sudah hijrah, kok masih sembah berhala?”

Oleh: Cut Marliana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar