Rabu, 10 April 2013

Pemeriksa Pajak yang Jujur

[caption id="" align="aligncenter" width="523"]image Arif Sarjono pernah dicalonkan oleh PKS sebagai anggota DPD perwakilan Sumut. Namun ketakutannya dengan dunia parlemen yang abu-abu membuatnya mundur secara tidak langsung. PKS pun menitipkan suara ke calon lain.[/caption]

Sebagian orang menganggap uang adalah segalanya. Bahkan harga diripun tergadaikan oleh uang. Namun ternyata masih ada beberapa gelintir orang yang tetap menjalankan tetap jujur walaupun seluruh teman-temannya berusaha mengajaknya mencari uang haram dengan jalan KORUPSI.

Berikut ini merupakan kisah yang sangat menarik untuk disimak. Yang menceritakan kehidupan Arif Sardjono, seorang pegawai pemeriksaan pajak departemen keuangan yang sangat jujur. Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih menenangkan. Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapi sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung. Sebagai pegawai departemen keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalangkabut akibat prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim inspektorat jendral datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman kantor gelisah dan belingsatan, kami tenang saja. Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu menenangkan sekali.
Saya Arif Sardjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di Mojokerto, kemudian kulaih di STAN dan selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya meikah dan kemudian saya ditugaskan di Medan. Saya ketika itu barangkali termasuk generasi pertama yang mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim.

Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsip satu saja, karena takut pada Allah, jangan sampai ada rejeki haram menjadi daging dalam diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya. Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang jelas dan tidak menikmati sedikitpun harta yang haram.
Syukurlah, prinsip ini bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam pengajian keislaman. Sejak awal ketika akan menikah saya sampaikan pada istri bahwa saya pegawai negeri di departemen keuangan, meski imej banyak orang pegawai departemen keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi. Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu.
Saya juga sering ingatkan pada isteri, bahwa kalau kita konsisten dengan jalan yang sudah kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan, maka Allah akanselesaikan kebutuhan itu. Jadi yang penting usaha dan konsistensi kita. Saya juga suka mengulang beberapa kejadian yang kami alami selama menjalankan prinsip hidup seperti ini kepada isteri.
Baha yang penting cukup dan berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup layak. Bukan berlebih seperti memiliki rumah mewah dan mobil mewah.
Jabatan saya samapi sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan dengan teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu, di masa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karir terhambat. Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya di mata mereka buruk. Terutama poin ketaatan dianggap tidak baik dan jatuh.
Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa pun caranya.
Cara keras, pelan, lawat bujukan atau apa pun mereka lakukan agar mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka. Merka ingin semua orang seperti mereka.
Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahun berulah ketahuan bahwa kita dikhianati. Cara ini seperti sudah direkayasa. Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup pegawai departemen keuangan. Bila tidak berhasil, mereka akan pakai cara yang lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja dipakai sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman.
Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan kami biasa memancing sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak. Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya sekedar hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalu saya perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke rumah, mengajak memancing atau ke toko buku sambil membawa anak-anak.
Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan itu kita ungkapkan maka pasti perusahaan itu bangkrut dan akan banyak pegawai yang diPHK. Karena itu, dia menganggap efek pembuktian itu justru menyebabkan masyarakat rugi. Sementara di sisi pandang saya, betapa tidak adilnya kalau tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti
perusahaan lain.
Karena dirasa sulit menpengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika lain lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingakn dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung, karena ada uang yang masuk kas negara. Logika seperti ini juga tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya satu-satunya anggota tim yang menolak dan meminta agar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya juga sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan itu tetap sah. Tapi saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin melihat orang yang tidak seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak, menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil oleh atasan dan disidang di depan kepala kantor. Dan ini yang amat berkesan sampai sekarang, bahwa upaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang
direncanakan.
Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabat dan seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, “Sudahlah, Dik arif tidak usah munafik.” Saya katakan, “Tidak munafik bagaimana Pak. Selama ini saya insyaAllah konsisten untuk tidak melakukan korupsi."Kemudian ia sampaikan terus terang bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak saya adalah uang dari klien.
Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat itu ternyata berkhianat. Karena terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kecuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang suap. Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa mereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau.
Ketika sangat terpukul dan tidak bisa membalas dengan mengatakan apapun, saya pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di rumah. Ketika mendengar cerita sayaitu, isteri langsung sujud syukur. Ia lalu mengatakan, “Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya pakai,” katanya. Ternyata di luar pengetahuan saya, alhamdulillah, amplop-amplop itu tidak digunakan sedikitpun oleh isteri saya untuk keperluan apa pun. Jadi amplop-amplop itu semuanya masih utuh.
Termauk tulisannya masih utuh, tidak ada yang dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas bukan lagi puluhan juta. Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir tiap pekan.
Saya menjadi bersemengat kembali. Saya ambil semua ampolop itu dan saya bawa ke kantor. Saya minta ketemu dengan kepala kantor dan kepala seksi. Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga bertaburan di lantai. Saya katakan, “Makan uang itu, satu rupiah pun saya tidak pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak akan pernah percaya satu pun perkataan kalian.” Mereka tidak bisa berbicara apa pun karena fakta objektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esoknya saya segera dimutasi antar seksi. Awalnya saya diauditor, lantas saya diletakkan di bagian arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemerksa pajak. Itu berjalan sampai sekarang.

Ditulis ulang oleh Agam Rosyidi

1 komentar:

  1. Ada yg tau gak contact person arif sarjono, banyak kewajiban selama 5 tahun ini yg harus dia jelaskan dan selesaikan secara beradab. Judul yg pas semestinya Pelaku Kemunafikan Sebenarnya, kl mau tau gmana dia bs tanya korban2 penipuannya yg berceceran.

    BalasHapus