Minggu, 07 April 2013

Kesesatan Logika Ala Fadli Zon

image

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon mempertanyakan apakah pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM merupakan kehendak rakyat? Ia juga mempertanyakan batasan dari pengusutan kasus HAM itu, apakah terhenti di kasus kerusuhan dan penculikan aktivis jelang reformasi, atau jauh ke belakang, seperti penembakan misterius (petrus), pembantaian tahun 1965, atau bahkan sampai tragedi 1948.
Pendapat saya, pertanyaan Bung Fadli itu mengandung logika yang sesat dan menyesatkan.



Disamping itu, pernyataan tersebut jelas kental nuansa politis untuk membela posisi politik Prabowo Subianto yang terancam dengan rencana pemerintahan SBY yang akan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Logikanya sederhana saja. Pengusutan kasus pelanggaran HAM tersebut jelas kehendak rakyat, kehendak keluarga korban. Keluarga korban pelanggaran HAM, penculikan, pembunuhan, dll oleh penguasa secara sistematis. Korban dan keluarganya adalah rakyat juga. Mereka berhak keadilan ditegakkan. Keluarga 13 orang aktivis pro-Reformasi tahun 1997-98, yang sekarang hilang entah ke mana dan diduga kuat telah tewas, terus berjuang dan berdemo untuk mencari keadilan bagi anak-anak dan saudaranya yang hilang tersebut. Mereka juga rakyat.
Untuk kasus pidana tidak dibatasi berapa jumlah rakyat yang jadi korban. Jangan katakan bahwa keluarga 13 orang aktivis pro-Reformasi itu bukan rakyat karena jumlahnya tak seberapa dibandingkan pendukung Prabowo, misalnya. Hukum pidana tidak mengenal berapa jumlah pendukung.
Pelanggaran HAM berada di wilayah hukum publik khususnya hukum pidana.
Dalam perspektif hukum pidana, tidak penting berapa orang jumlah korban dan keluarga yang mendukung, dibandingkan dengan jumlah pendukung dan keluarga terduga pelaku. Atas nama dugaan kuat pelanggaran hukum pidana maka negara harus bertindak mewakili pihak korban, berapa pun jumlah korban. Selanjutnya, tidak jadi soal batasan sampai tahun berapa pelanggaran HAM dapat diadili, pedomannya bukan pendapat orang per orang melainkan aturan hukum.
Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan amanat undang-undang khususnya Pasal 43 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM Ad Hoc ini untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran HAM berat sebelum UU No 26 Tahun 2000 diundangkan. UU Pengadilan HAM itu sendiri diudangkan tanggal 23 November 2000. Adalah sesat logika yang mengatakan, bahwa bangsa ini harus menatap masa depan dan melupakan masa lalu.
Kejahatan-kejahatan terhadap rakyat di masa lalu tidak boleh dilupakan, pelakunya harus segera diadili, mumpung yang bersangkutan masih hidup. Hukum pidana tidak mengenal ‘melupakan masa lalu dan menatap masa depan’. Masa depan, ya, ditatap juga. Tapi kejahatan masa lalu tidak boleh dilupakan.
Bila perlu sampai ke masa penjajahan Belanda dan Jepang dulu. Mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak akan menguras energi bangsa, karena ini ada di ranah hukum. Yang bekerja adalah aparatur hukum. Sedangkan urusan ekonomi dan pemerintahan, ya, jalan terus. Orang mau dagang, ya, dagang saja. Mau ekspor, ya, ekspor saja.
Kalau alasan Fadli Zon, pengadilan kasus pelanggaran HAM itu akan melahirkan konflik, maka pelaku konflik itu jika sampai bersifat pidana akan jadi urusan negara melalui aparatnya untuk melakukan tindakan. Yang buat onar ya ditangkap.
Jangan sampai para pembunuh, penculik, pemerkosa, yang dilakukan sistematis oleh kekuasaan terhadap rakyat yang tak berdosa dibiarkan dengan dalil-dalil ‘melupakan masa lalu dan menatap masa depan’. Ini dalil sesat yang dihembuskan para calon tersangka.

——————–
Pernyataan Fadli Zon dikutip dari rmol.co (6/4/2013).

Oleh: Sutomo Paguci

Tidak ada komentar:

Posting Komentar