Tampilkan postingan dengan label Freedom Flotilla. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Freedom Flotilla. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Juni 2010

Andai Mereka Mau, Relawan Freedom Flotilla Bisa Saja Membunuh Pasukan Komando Israel

[caption id="attachment_495" align="alignleft" width="240" caption="Ken O'Keffee"][/caption]

Seorang relawan asal Amerika Serikat keturunan Irlandia mengatakan dia berada diantara ratusan relawan yang berada di kapal bantuan Freedom Flottila yang berusaha menembus blokade Gaza. Ken O'Keefe dipukuli secara brutal oleh pasukan komando Israel.

Pada hari Sabtu (5/6), Ken mengatakan, dia diserang secara brutal oleh tentara Israel di bandara sebelum diberangkatkan ke Turki.

Kini Ken harus dirawat akibat kekerasan fisik minimal tiga kali lipat lebih berat dibandingkan ketika ia turun dari kapal. Dia juga harus dirawat inap di rumah sakit setelah mengalami luka akibat pukulan tersebut.

Armada kapal bantuan, Gaza Freedom Flotilla diserang oleh pasukan Israel pada hari Senin (31/5), yang berusaha memberikan suplai bantuan lebih dari 10 ribu ton pada warga Gaza dibalik blokade.

Kemudian, serangan pasukan Israel itu mengakibatkan tewasnya sembilan relawan dan lebih dari 40 relawan terluka.

Pernyataan Ken O'Keefe dari Istanbul, sebagai berikut :

"...Ketika saya ditanya, pada insiden penyerangan tentara Israel di kapal Mavri Marmara, apakah saya akan menggunakan kamera atau mempertahankan kapal?

Saya secara antusias berkomitmen untuk mempertahankan kapal. Meskipun saya termasuk orang yang tidak suka kekerasan, kenyataannya saya percaya cara tanpa kekerasan harus jadi pilihan pertama.

Meski demikian, saya bergabung dengan usaha pertahanan Mavri Marmarra karena memahami kekerasan bisa saja dilakukan terhadap kami dan kemungkinan kami juga terpaksa untuk menggunakan kekerasan dalam bela diri.

Saya mengatakan hal itu langsung kepara agen Israel, mungkin yang bernama Mossad atau Shin Bet dan saya katakan lagi sekarang, pada serangan yang dilakukan pagi hari itu, saya secara langsung terlibat dengan usaha pelucutan senjata dari dua pasukan komando Israel.

Hal itu merupkan usaha pelucutan senjata pemaksaan, tanpa negosiasi dari pasukan komando yang sudah membunuh dua orang saudara relawan yang saya lihat hari itu. Satu relawan dengan ditembak dengan peluru bersarang di dainya yang tampak jelas sebagai eksekusi.

Saya tahu pasukan komando berusaha membunuh ketika saya berhasil merebut pistol ukuran 9mm dari salah satu anggotanya. Saya memegang senjata itu ditangan saya dan sebagai mantan angkatan laut AS dengan pelatihan senjata yang cukup, saya sangat mampu menggunakan senjata tersebut ke arah pasukan komando yang mungkin telah membunuh salah satu relawan.

Namun, bukan itu yang saya lakukan atau relawan lain yang berusaha mempertahankan kapal.


Saya mengambil senjata itu, mengeluarkan peluru yang merupakan peluru tajam asli, kemudian memisahkannya dari senjata dan menyembunyikan senjata itu.

Saya melakukan hal itu dengan harapan kami dapat mengatasi serangan tersebut dan mengajukan senjata itu sebagai bukti dari percobaan kriminal terhadap pihak berwenang di Israel untuk pembunuhan massal.

Saya juga membantu secara fisik memisahkan satu anggota komando dari serangan senapan, ketika relawan lain dilemparkan ke laut. Saya dan ratusan relawan lain mengetahui kenyataan yang memicu ejekan dari keberanian dan moral anggota militer Israel. Kami menguasai penuh, tiga orang pasukan komando tanpa senjata dan tak berdaya. Mereka hidup karena belas kasihan kami, mereka sangat jauh dari jangkauan anggota komando lain yang berniat membunuh. Mereka didalam kapal dan dikelilingi oleh sekitar 100 relawan atau lebih.


Saya melihat ke arah mata tiga pria tersebut dan saya yakin mereka memiliki rasa takut terhadap Tuhan didalam diri mereka. Mereka juga memandang ke arah kami dan berharap kami memahami jika sedang berada di posisi mereka, saya tidak ragu, mereka tidak percaya akan ada jalan mereka bisa selamat hari itu. Mereka tampak seperti anak kecil yang ketakutan di hadapan ayah yang kejam.

Namun, mereka tidak menghadapi musuh yang tak berperasaan hari itu. Bahkan, relawan wanita menyediakan pertolongan pertama dan kemudian mereka dibebaskan dengan memar tapi hidup. Mereka dapat hidup di hari esok. Dapat merasakan matahari di atas kepala dan memeluk orang tercinta. Tak seperti para relawan yang dibunuh. Meskipun kami berduka atas kehilangan saudara-saudara yang meninggal, merasa marah terhadap para tentara itu, namun kami melepas mereka..."

Militer Israel Akui Kebohongan Alasan Penyerangan Mavi Marmara

Barangkali benar pomeo yang menyebut kebohongan pada akhirnya akan membuka kedoknya sendiri. Dan akhirnya, Israel mengakui bahwa rekaman penyerangan terhadap kapal Mavi Marmara yang kemudian disiarkan di berbagai media di Barat telah melalui proses editing dan tidak menggambarkan kejadian seraca runtut. Mereka juga tak bisa membuktikan kapal yang mana seruan anti-Semit dan anti-Amerika -- yang dibantah oleh aktivis pro-Palestina yang mencoba menerjang blokade Gaza -- dan tidak dapat mengidentifikasi asal dari siaran itu.

Militer Israel merilis sebuah rekaman 26 detik pada Jumat malam di mana panggilan peringatan untuk kapal dalam armada itu disahut dengan jawaban, "Diam, kembali ke Auschwitz." Sebelumnya, ada laporan lain suara yang konvoi yang memiliki izin dari pejabat Palestina untuk berlabuh di dermaga di Gaza itu, suara ketiga menjawab, "Kami akan membantu orang-orang Arab melawan  AS. Jangan lupa tragedi 9/11, kawan."

Rekaman itu sebelumnya telah menuai protes aktivis pro-Palestina. Mereka mengajak untuk membuktikan kesahihan rekaman secara teknologi.

Akhirnya, Ahad malam, Pasukan Pertahanan Israel melaporkan kelompok itu telah salah mengidentifikasi satu dari enam kapal sebagai sumber siaran. "Jadi, untuk memperjelas: audio itu diedit bawah untuk memotong periode keheningan melalui radio serta agar komentar dimengerti sehingga memudahkan orang untuk mendengarkan," kata militer Israel dalam sebuah pernyataan yang diposting di situs resmi mereka. Mereka berkilah, "Karena sebuah saluran terbuka, maka dari kapal Freedom Flotilla yang mana tak bisa diidentifikasi pasti."

Komando Israel mencegat konvoi bantuan kemanusiaan Gaza di perairan internasional pada tanggal 31 Mei dan menyerbu kapal terbesar, Mavi Marmara. Kejadian ini menewaskan sedikitnya sembilan orang di atas kapal. Kapal-kapal itu membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza, wilayah Palestina yang telah diblokade oleh Israel sejak diambil alih oleh gerakan Islam Hamas pada tahun 2007. Serangan mematikan itu memicu kecaman internasional.

Jur bicara organisasi nirlaba Free Gaza mengatakan Israel melalui rekaman itu, "Berusaha untuk menggambarkan bahwa penumpang armada sebagai anti-Semit." Kelompok itu membantah kapal tersebut adalah sumber siaran dan mengatakan baik tuduhan Israel maupun penjelasan setelahnya sebagai "tidak lebih masuk akal dengan penjelasan itu."

Menurut mereka, semua transmisi radio di laut didengar oleh semua nahkoda kapal apapun yang ada di sekitarnya. "Sekali lagi, Israel terperangkap dalam dusta dan mencoba untuk membela diri atas pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan pagi hari tanggal 31 Mei 2010."

Pada rekaman penuh, kapal perang Israel memperingatkan untuk tidak mendekati zona blokade dan memperingatkan bahwa "semua tindakan yang diperlukan" akan diambil untuk mencegah mereka mencapai Gaza. Setelah tiga peringatan, Gratis Gaza aktivis Huwaida Arraf menjawab bahwa blokade itu merupakan pelanggaran hukum internasional dan bahwa konvoi itu hanya membawa bantuan kemanusiaan.

"Kami tidak membawa apa-apa yang merupakan ancaman bagi angkatan bersenjata Anda," katanya di rekaman. Itu saja.  Jadi, seruan anti-Semit dan sebagainya, hanya "tambahan" Israel untuk mendiskridit mereka.

Sumber: RepublikaOnline

Jumat, 04 Juni 2010

Menit-Menit Akhir Menjelang Penyerangan Mavi Marmara

[caption id="" align="alignleft" width="360" caption="Situasi Genting Menjelang Penyerangan Mavi Marmara"][/caption]

Meskipun anggota dari berbagai delegasi di atas kapal-kapal armada perdamaian memastikan bahwa masa pemisah dan konfrontasi telah sangat dekat, namun pembicaraan yang terjadi difokuskan pada kemungkinan dimulainya api konfrontasi bersamaan dengan awal dini hari Senin. Kami telah menerima instruksi dari Komandan Misi Kemanusiaan, Boland Yildirim, dari atas kapal utama Mavi Marmara, akan pentingnya memastikan keselamatan kaum perempuan dan orang tua dengan menempatkan mereka di lokasi aman di atas kapal dan bersiap untuk segala kemungkinan, yang bisa jadi memerlukan pembelaan diri. Pembicaraan difokuskan pada bahaya yang akan terjadi pada jam-jam berikutnya.

Berlawanan dengan persepsi yang populer tentang kemungkinan pelaksanaan intervensi dari militer Israel menjelang tengah malam, kami menerima informasi kemungkinan Israel mempercepat intervensi militer sebelum kapal-kapal armada kemanusiaan tiba di perairan regional. Begitu selesai shalat isya’ di atas kapal, tepatnya pada pukul 20.45, kapten kapal Turki Mavi Marmara, kapal utama armada kebebasan, memberitahukan kepada kami telah menerima kontak tidak dikenal yang meminta memperkenalkan identitas kapal, dan benar kami dapat melihat sejumlah kapal perang di depan mata menuju ke arah armada kebebasan.

Kapten kapal Turki Mavi Marmara menjawab panggilan tersebut dengan mengungkapkan identitas kapal dan tujuan yang sudah ditetapkan untuk itu. Menit-menit seakan berjalan sangat lama. Semua merasa pentingnya situasi dan pada saat yang sama merasakan ancaman bahayanya. Konfrontasi menjadi tak terelakkan.

Tidak ada waktu di hadapan armada kemanusiaan ini kecuali hanya beberapa menit saja. Kami memastikan itu melalui aksi militer Zionis Israel yang menyabotase komunikasi kapal-kapal armada. Begitu menjawab panggilan pertama, sambungan komunikasi terputus dari pihak militer Israel.

Beberapa saat kemudian suara-suara di atas kapal armada kebebasan mulai menegang dan genting. Pembicaraan berkisar tentang tekad militer Israel melaksanakan aksinya di perairan regional internasional. Para pemimpin delegasi di atas kapal-kapal armada berbicara mengenai ancaman nyata.

Kapal Mavi Marmara yang memimpin paling depan mengenali gerakan yang tidak wajar. Para pembimbing di atas kapal meminta para penumpang, yang tidak lain adalah para aktivis solidaritas kemanusiaan yang berasal dari lebih 40 negara, untuk bersiap-siap dengan kesiagaan penuh menghadapi insiden apapun.

Kami menulis baris-baris kalimat ini, memastikan kami dapat melihat kapal-kapal militer Israel mengepung armada kebebasan dari dua sisi. Armada kebebasan menerima perintah untuk memutus semua cara komunikasi dengan anggota delegasi di atas kapal.

Kami mulai merasakan menurunnya kecepatan kapal dalam upaya cerdas awak kapal untuk mengulur lebih banyak waktu dalam menunggu munculnya sinar matahari dan mengatasi situasi di siang hari bolong, daripada menghadapinya di kegelapan malam, sebagaimana diinginkan militer Zionis Israel untuk melakukan itu.

Abdul Latif Balkaim, wartawan saksi pembantaian

Rachel Corrie, Siap Tembus Blokade Israel

[caption id="" align="alignright" width="360" caption="Sang Martir dari Amerika Serikat untuk Rakyat Palestina"][/caption]

Selain Mavi Marmara, ada satu lagi kapal pengangkut bantuan kemanusiaan untuk Gaza yang namanya cukup terkenal. Kapal itu bernama Rachel Corrie. Saat ini, Kapal Rachel Corrie sedang berlayar menuju Gaza, setelah bertolak dari Malta pekan lalu. Siapakah Rachel Corrie?

Dia adalah aktivis muda yang berjuang keras untuk membebaskan Gaza dari cengkeraman rezim zionis Israel. Corrie meninggal pada usia 23 tahun pada 16 Maret 2003 karena dilindas buldozer Israel. Saat itu, dia berupaya menghentikan penggusuran paksa rumah milik warga Gaza oleh Israel.

Untuk menghindari penggusuran, perempuan asal Washington itu pun pasang badan. Langkah ini pun harus dibayar mahal. Buldozer Israel kemudian menabrak dan melindasnya berkali-kali. Tubuh Corrie pun hancur. Dia menjadi martir bagi perjuangan membela Gaza.

Setelah menamatkan SMA, Corrie kemudian melanjutkan studinya ke The Evergreen State College. Di sinilah dia kemudian bergabung dengan gerakan kemanusiaan bernama Olympia Movement for Justice and Peace. Dari situ, dia lantas masuk International Solidarity Movement (ISM).

ISM didirikan tahun 2001, dan menjaring manusia dari berbagai penjuru dunia untuk menjalankan aksi damai melawan kekejaman zionis Israel. Gerakan ini berupaya untuk menekan Israel dan tentaranya supaya menghentikan penjajahan terhadap Palestina.

Untuk melancarkan aksinya, Corrie, kemudian berangkat ke Rafah di Jalur Gaza pada tahun 2003 dan mengikuti pelatihan selama dua hari untuk menjalankan aksi damai. Begitu menyaksikan banyaknya rumah warga Palestina yang dihancurkan Israel, dia sangat geram. Dia juga menyaksikan betapa setiap hari warga Palestina dibunuh oleh Israel.

Corrie merekam semua kejadian ini dalam email yang dikirimkan kepada keluarganya di Washington. "Wahai kawan dan keluarga, saya sudah dua pekan satu jam di Palestina. Saya masih kesulitan berkata-kata untuk bisa menggambarkan kondisi yang saya lihat di sini. Sungguh ini kondisi paling sulit buat saya untuk memikirkannya sambil duduk dan menuliskan kembali setelah berada di Amerika," begitu bunyi salah satu email Corrie yang dikirim 7 Februari 2003.

Kamis, 03 Juni 2010

Aktifis Gaza Mendapat Kewarganegaraan Palestina

Presiden Palestina Mahmoud Abbas menghadiahi para aktivis Gaza yang ikut dalam misi Freedom Flotilla dengan kewarganegaraan Palestina.

Keputusan itu disampaikan Abbas ketika berbicara di Palestina Investment Conference di Bethlehem. Ia bahkan mengganti nama konferensinya menjadi Conference of Freedom untuk menghormati konvoi yang diserang Israel pada awal pekan itu.

"Kami takkan menerima situasi di mana proses perdamaian digunakan untuk menghindari kewajiban. Kami akan bertanya pada dunia, kapan penjajahan ini berakhir? Kapan pertumpatahan darah usai dan perdamaian terwujud?" kata Abbas, Kamis (3/6).

Ia menuding Israel melakukan tindakan terorisme, serta meminta Dewan Keamanan PBB untuk membuat perlindungan berskala internasional bagi rakyat Palestina. Serta bekerjasama mengakhiri blokade Jalur Gaza.

Di sisi lain, Abbas berharap insiden tersebut juga membuat faksi Fatah miliknya yang menguasai Tepi Barat akhirnya bersatu dengan faksi Hamas yang menguasai Jalur Gaza sejak pertengahan 2007. Hamas adalah alasan yang membuat Israel dan Mesir melakukan blokade.

"Jerusalem dikelilingi dinding isolasi. Gaza selalu tegang, Kota Hebron terpecah belah, Bethlehem terisolasi dan tanahnya dicuri," tutur Abbas. Ia sendiri kini juga mendapat tekanan internasional untuk segera mempersatukan negaranya.