DARI PRO JOKOWI MENJADI ANTI JOKOWI
Oleh : Robert Strong
Sama seperti ratusan juta rakyat Indonesia, sebelum Tempo mengangkat isu Jokowi, Esemka dan predikat Jokowi sebagai “walikota terbaik sedunia” saya tidak mengenal Jokowi. Siapa itu Jokowi? Mengapa ada tokoh sehebat itu tapi saya tidak pernah mendengar sebelumnya? Masa saya se”kuper” itu? Kendati demikian melihat kemunculan Esemka bertepatan momentumnya dengan pemilihan gubernur DKI, maka saya sudah menduga bahwa kedatangan Jokowi ke Jakarta dengan mengendarai Esemka (katanya) adalah sebagai usaha Jokowi untuk melakukan pencitraan terselubung dan kampanye secara diam-diam.
Walaupun sudah mengetahui Jokowi sedang menunggangi Esemka untuk tujuan politiknya waktu itu saya tidak terlalu peduli karena sejak orde baru tumbang saya sudah menjadi golput dan apolitis. Tetapi ada satu hal yang waktu itu mengganjal, yaitu komentar Jokowi ketika Esemka gagal lolos uji coba pertama kali yaitu: “Seharusnya loloskan saja, ini kan demi industri mobil nasional”. Saya berpikir ini orang asal bunyi atau memang bodoh? masa meloloskan mobil yang jelas-jelas tidak lolos uji coba, yang ada harusnya produsen Esemka meningkatkan kualitas mobilnya sesuai standar yang ditetapkan bukan standar yang diturunkan mengikuti Esemka.
Sesuai dugaan akhirnya Jokowi dan Ahok bertarung di pilkada DKI, dan saya kembali golput pada putaran pertama karena menilai semua calon tidak ada yang benar. Baru setelah Foke menjalankan kampanye rasis dan SARA karena kalah pada putaran pertama itulah akhirnya saya mendukung Jokowi-Ahok dan untuk sementara menyingkirkan sikap apolitis saya dan ikut berkampanye untuk “Jakarta Baru”. Sejarah mencatat akhirnya Foke-Nara tersingkir dan Jokowi-Ahok terpilih menjadi pasangan gubernur-wakil gubernur baru DKI Jakarta.
Di hari pelantikan mereka saya berharap kali ini tidak salah memilih pemimpin, dan beberapa bulan pertama memang mereka menunjukan bahwa mungkin saja pasangan tersebut dapat menanggung harapan warga Jakarta dengan baik.