Kamis, 01 Mei 2014

Masih Ada SD Yang Menerapkan Tes Masuk Calistung? Laporkan, Sanksi Menanti

Setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh melarang sekolah melakukan tes membaca, menulis dan berhitung untuk siswa yang akan masuk sekolah dasar beberapa waktu lalu, larangan serupa ditegaskan lagi oleh Inspektur Jenderal Kemendikbud Haryono Umar.

"Saya perintahkan kepada kepala dinas pendidikan untuk melarang pihak sekolah dasar melakukan tes membaca, menulis, dan berhitung atau calistung saat masuk SD," kata Mendikbud beberapa waktu lalu.

Bahkan Irjen Haryono Umar mengajak masyarakat untuk melapor ke dinas pendidikan setempat, jika masih menemukan praktik tes tersebut.


"Larangan ujian calistung untuk masuk SD sudah jadi program nasional, kebijakan Mendikbud. Harus dijalankan," katanya.

Mantan pimpinan KPK itu mengakui, Kemendikbud memang tidak bisa mengintervensi terlalu jauh seluruh SD yang tersebar di seantero Indonesia, sebab secara struktural kepemerintahan, SD negeri merupakan lembaga di bawah pemerintah kabupaten dan kota.

Namun Haryono menyebutkan, dengan kebijakan Mendikbud itu seharusnya pemda sudah bisa mengatur soal larangan ujian calistung itu. "Ujian calistung ini sudah membudaya. Anak saya saja dulu dites calistung saat mau masuk SD," katanya.

"TK itu bukan sekolah. Namanya saja taman kanak-kanak, tempat bermain," katanya.

Jadi jika untuk masuk SD saja sudah diterapkan ujian calistung, berarti sejak pra SD anak-anak sudah diajarkan calistung, sehingga TK sudah bukan lagi tempat bermain sambil belajar. Mewajibkan tes calistung untuk anak-anak yang akan masuk SD akan mendorong taman kanak-kanak mengajarkan calistung kepada para muridnya. Sebuah TK di Ciracas, Jakarta Timur misalnya, malah mengharuskan anak-anak TK yang belum bisa calistung les kepada gurunya.

Memang, begitu tamat dari TK tersebut, Eryl misalnya, sudah lancar membaca, menulis dan berhitung. Tetapi menurut Mendikbud, calistung baru diajarkan kepada siswa SD bukan siswa taman kanak-kanak.

Di TK sejatinya anak-anak fokus diajari pendidikan karakter, seperti kebiasaan hidup bersih, antri, menghargai sesama, dan bekerjasama. "Kalau di TK sudah dibebani membaca, menulis, dan menghitung, penanaman pendidikan karakter tadi bisa bubar," kata Irjen. "Karena itu pada penerapan kurikulum 2013 nanti, larangan tes calistung makin dipertegas lagi," kata dia.

Calistung tidak boleh diajarkan secara langsung sebagai pembelajaran kepada anak-anak TK, tetapi menurut Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Prof Suyanto diperkenalkan dalam kerangka pengembangan seluruh aspek tumbuh kembang anak, dilakukan sambil bermain, dan disesuaikan dengan tugas perkembangan anak.

TK seharusnya hanya menciptakan lingkungan yang kaya dengan beragam bentuk keaksaraan yang akan lebih memacu kesiapan anak didiknya untuk memulai kegiatan calistung di tingkat lanjutan, yaitu sekolah dasar.

Juga pendekatan bermain sebagai metode pembelajaran di TK menurut dia, hendaknya disesuaikan dengan perkembangan usia dan kemampuan anak didik, yaitu secara berangsur-angsur dikembangkan dari bermain sambil belajar (unsur bermain lebih dominan) menjadi belajar seraya bermain (unsur belajar mulai dominan).

Tahun lalu, beberapa sekolah favorit di Banda Aceh melakukan tes calistung dalam penerimaan murid SD, padahal praktik itu tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 yang melarang sekolah dasar menerapkan tes tersebut terhadap calon muridnya.

Terkait praktik itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh, Syaridin menegaskan, tidak ada kewajiban dan keharusan bagi calon siswa SD untuk melewati tes calistung," kata Syaridin sambil menambahkan bahwa calistung itu inisiatif sekolah.

Oleh karena jumlah siswa yang mendaftar melebihi kapasitas, maka tes calistung itu merupakan cara sekolah untuk mengatasinya, bukan tujuan utama dalam proses seleksi, katanya.

Tes calistung dihapus Di Samarinda, pada penerimaan murid tahun ajaran 2012/2013 ini, anggota Komisi IV DPRD, Nursobah mengingatkan agar sekolah negeri dan swasta tidak mewajibkan calon siswa SD melewati tes membaca, menulis dan berhitung (calistung), karena ada banyak kerugian jika SD masih menerapkan tes tersebut.

Kerugian terbesar dari tes ini, katanya, adalah siswa dari TK menjadi tertekan ketika mengetahui harus lulus ujian calistung dulu sebelum masuk SD. Tekanan ini wajar terjadi, sebab, di TK memang tidak diajarkan untuk membaca, menulis, dan menghitung.

Potensi tekanan itu diperburuk manakala orangtua memaksa anaknya yang mau masuk SD belajar calistung secara kilat dan dengan paksaan. Tekanan psikis ini akan semakin kuat pada anak-anak yang kemudian dinyatakan tidak lulus ujian calistung, ujarnya.

Kabid Perencanaan dan Pengendalian Mutu Dinas Pendidikan limapuluh Kota, Orlando mengaku telah melakukan sosialisasi tentang larangan tes calistung untuk masuk SD, kepada seluruh jajaran yang ada di bawah dinas tersebut.

Penerimaan siswa baru menurut dia, dilakukan sesuai peraturan Kemendikbud tentang penghapusan metode pemberian ujian calistung.

Tes calistung saat anak mau masuk SD dinilai psikolog anak Seto Mulyadi, tidak benar, karena jika ada tes berarti saat pendidikan anak usia dini (PAUD), baik play group atau TK sudah diajari calistung. Tes hanya boleh dilakukan pada siswa yang senior. Jadi sebelum masuk SD, anak-anak sebaiknya tidak diajari calistung.

Sependapat dengan Kak Seto, psikolog Kasandra Putranto menilai pendidikan calistung pada PAUD, apalagi menjadi tes saringan masuk SD adalah hal yang tidak wajar. "Boleh-boleh saja dalam PAUD diajarkan calistung, namun hal itu tidak bisa dipaksakan dan dipukul rata," katanya.

Anak-anak usia dini menurut ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait yang boleh dikenalkan pada konsep-konsep dasar kehidupan saja seperti bersosialisasi dan bergaul.

Kurikulum PAUD yang terlalu kaku misalnya, membuat anak-anak menjadi tertekan sehingga tidak berkembang dan rentan terjerumus dalam perilaku berbahaya. Anak-anak, katanya, sebaiknya diberi kebebasan untuk memilih aktivitasnya.

Memang, tantangan berat akan dirasakan guru kelas 1 SD terutama yang ada di pelosok dan pedalaman, karena tidak di semua daerah ada PAUD, sehingga tugas pertama guru adalah untuk mengajar membaca, menulis dan berhitung.

Beban ini akan diperberat oleh beragamnya tingkat IQ dan latar belakang siswa. Tantangan ini mungkin tidak dirasakan oleh guru kelas 1 SD di kota karena siswa baru rata-rata jebolan PAUD yang sedikit banyak sudah mengenal calistung, meski tidak wajib diajarkan.

Belajar calistung biasanya membutuhkan waktu dan jika baru dimulai di kelas 1 SD, bagaimana anak-anak mampu membaca lembar soal saat ulangan semesteran. Sebaliknya, jika calistung diajarkan sejak dini, anak-anak terbebani.

Apalagi dalam kurikulum 2013, materi pelajaran kelas 1 SD sudah sangat kompleks. Anak sudah tak sempat lagi belajar membaca, karena begitu masuk kelas satu, mereka dituntut mampu memahami bahan bacaannya, supaya bisa mengerjakan soal dan ulangan.

Mungkin belajar calistung di rumah dengan pola permainan yang mengasyikkan, akan membuat anak-anak usia bawah lima tahun atau balita tidak merasa tertekan dan kesulitan yang dihadapi manakala mereka akan masuk SD, akan bisa teratasi.

Baca Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 pasal 69 dan pasal 70.
Dalam PP tersebut diatur untuk masuk SD atau sederajat tidak didasarkan pada tes baca, tulis, hitung atau tes lainnya. Tidak ada alasan bagi penyelenggara pendidikan tingkat sekolah dasar (SD) atau sederajat untuk menggelar tes masuk bagi calon peserta didiknya. Berikut isi PP No. 17 tahun 2010 pasal 69 ayat 4 dan 5 dan pasal 70:

Pasal 69

(4) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat wajib menerima warga negara berusia 7 (tujuh) tahun sampai dengan 12 (dua belas) tahun sebagai peserta didik hingga dengan batas daya tampungnya.

(5) Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain.

Pasal 70

(1) Dalam hal jumlah calon peserta didik melebihi daya tampung satuan pendidikan, maka pemilihan peserta didik pada SD/MI berdasarkan pada usia calon peserta didik dengan prioritas dari yang paling tua.

(2) Jika usia calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka penentuan peserta didik didasarkan pada jarak tempat tinggal calon peserta didik yang paling dekat dengan satuan pendidikan.

(3) Jika usia dan/atau jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sama, maka peserta didik yang mendaftar lebih awal diprioritaskan.

Kemana lapornya gan???

Silahkan lapor kesini:

INSPEKTORAT JENDERAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
021-62 21 573 7104/7105/7106

atau

datangi langsung ke
INSPEKTORAT JENDERAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
Jalan Jenderal Sudirman, Senayan
Jakarta 10270
Telp +62 21 573 7104/7105/7106
Fax +62 21 573 6925
Email : info@itjen.kemdiknas.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar