Pemilihan Umum (Pemilu) seolah menjadi gula-gula bagi semut industri survei dan pengamat politik yang kian menjamur. Rakyat sebagai inti demokrasi kebingungan sebab peranan lembaga-lembaga tersebut, meskipun tidak semua, telah melampaui otoritasnya dengan menjelma menjadi “biro jodoh” Capres dan Cawapres, sedangkan pengamatnya menjadi “juru nikah” dengan menyodorkan “nama” cawapres tertentu.
Lembaga survei dan pengamat yang dikritik, pada pemilu 2014 ini, utamanya mereka yang ngeblok pada calon wakil presiden (Cawapres) pengusaha, mempunyai dana besar sebab disokong dan dikerumumi konglomerat kakap. Letupan kalimat seperti melacurkan integritas, menyumbat obyektifitas ilmiyah, merekayasa nilai-nilai empiris metode survei dan menggadaikan gelar Master, Phd dalam dan luar negeri demi politik dan uang, membrondong juru ramal elektabilitas politik dan kekuasaan tersebut. Ekspresi dongkol bermunculan darai para petinggi partai utamanya yang berbasis massa Islam, setelah dipendam sekian bulan sebab mereka dianggap mati suri menemui ajalnya pada Pemilu 2014 ditelan elektabilitas Jokowi.
Kritik yang betul-betul menyayat nurani pelaku bisnis survei datang dari Drajat Wibowo (PAN), Romahurmuziy (PPP), beberapa petinggi PKS dan partai lainnya termasuk para intellektual, sebab realitas politik berbicara lain. Angka-angka ajaib pra-Pileg kontras dengan fakta politik, menambah intensitas gunjingan atas embaga-lembaga tersebut di ruang publik. Mereka yang dituding survei bayaran menjadi musuh bersama sebab dianggap mengumbar angka-angka magic yang muncul entah dari mana rimbanya.